Kamis, 19 Mei 2016

POTENSI PONDOK PESANTREN DAN UPAYA PENGEMBANGAN DAN PEMBINAANNYA

POTENSI PONDOK PESANTREN DAN UPAYA
PENGEMBANGAN DAN PEMBINAANNYA

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Manajemen Pendidikan Diniyah dan Pesantren
Dosen Pengampu : Dr. H. Fatah Syukur NC, M. Ag


Disusun Oleh :
Hadyan Luthfi Julianto           (1403036089)

JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2016




I.                    PENDAHULUAN
Pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan non formal yang tersebar di Indonesia. Dimana pondok pesantren lahir ditengah-tengah masyarakatdari bagaimana tipe metode seperti apa yang diterapkan dalam pembelajarannya.
 Setiap pondok pesantren memiliki ciri khas yang berbeda-beda tergantung   implikasi globalisasi dalam pendidikan yaitu adanya delegurasi yang membuka peluang lembaga pendidikan (termasuk perguruan tinggi asing) membuka lembaga pendidikanya di Indonesia. Oleh karena itu persaingan di pasar kerja akan semakin berat. Kata “mutu” telah menjadi orientsi produk pendidikan. oleh karena itu lembaga pendidikan yang tidak mengorientasikan pembelajaran pada pencapaian mutu, cepat atau lambat akan segera ditinggalkan oleh konsumenya. Sebaliknya, lembaga pendidikan yang menjadikan mutu sebagai orientasi dan standar kualitasnya akan dicari konsumen pendidikan.
Namun kini repurtasi pesantren tampaknya dipertanyakan oleh sebagian masyarakat muslim Indonesia. Mayoritas pesantren masa kini terkesan berada di menara gading, elitis, jauh dari realitas sosial. Maka dengan ini ada terdapat beberapa potensi pesantren dan upaya pengembangan dan pembinaannya, agar tetap terjaga dan berkembang mengikuti modernisasi zaman.
II.                RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian potensi pondok pesantren ?
2.      Apa Potensi-potensi yang dimiliki Pondok pesantren ?
3.      Bagaimana pengembangan pondok pesantren ?
4.      Bagaimana pembinaan pondok pesantren ?
III.              PEMBAHASAN
A.    Pengertian potensi Ponpes dan potensi-potensi pondok pesantren
 “Potensi” dalam kamus besar Bahasa Indonesia mempunyai arti yaitu kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan.[1] Sedangkan Pesantren atau Pondok adalah lembaga yang merupakan wujud proses perkembangan sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, Potensi Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan sesuatu.[2]
B.     Potensi-potensi yang dimiliki Pondok pesantren
Potensi Pola kehidupan pondok pesantren sudah terdapat dalam istilah “panca jiwa” dimana di dalammya memuat “6 jiwa” yang harus diwujudkan dalam proses pendidikan dan pembinaan karakter santri. Ke enam jiwa tersebut adalah jiwa Keikhlsan, jiwa kesederhanaan, jiwa kemandirian, jiwa ukhuwah Islamiah, jiwa kebebasan, dan jiwa toleransi.
Jiwa keikhlasan. Jiwa ini tergambarkan dalam ungkapan “sepi ing pamrih”, yaitu perasaan smeata-mata untuk beribadah yang sama sekali tidak dimotivasi oleh keinginan memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu. Jiwa ini tampak pada orang-orang yang tinggal di pondok pesantren, mulai dari kyai, jajaran ustadz, hingga para santri. Dari sinilah kemudian tercipta suasana harmonis antara kyai yang disegani dan santri yang menaati suasana yang mendorong oleh jiwa yang penuh cinta dan rasa hormat. Oleh karena belajar dianggap sebagai ibadah, maka menurut Wolfgang Karcher, ia menimbukan tiga akibat, yaitu: (1) berlama-lama di pesantren tidak pernah dianggap sebagai suatu masalah, (2) keberadaaan ijazah sebagai tanda tamat belajar tidak terlalu dipedulikan, dan (3) lahirnya budaya restu kyai yang terus bertahan hingga saat ini.
Jiwa kesederhanaan. Kehidupan di pondok pesantren diliputi suasana kesederhanaan yang bersahaja. Sederhana di sini bukan berarti pasif, melarat, nrimo, dan miskin, melainkan mengandung unsur kekuatan hati, ketabaha, dan pengendalian diri di dalam mengahadapi bebagai macam rintangan hidup sehingga diharapkan akan terbit jiwa yang besar, berani, begerak maju, dan pantang mundur dalam segala keadaan. Dengan kata lain di sinilah awal tumbuhnya kekuatan mental dan karakter yang menjadi syarat bagi suksesnya suatu pejuangan dalam segala bidang kehidupan.
Jiwa kemandirian. Berdikari, yang biasanya dijadikan akronim dari “ berdiri di atas kaki sendiri”, bukan hanya berarti bahwa seorang santri harus belajar mengurus keperluannya sendiri, melainkan telah menjadi semacam prinsip bahwa sendari awal pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan islam yang tidak pernah menyandarkan kelangsungan hidup dan perkembangannya ada bantuan dan belas kasihan kepada pihak lain.
Jiwa ukhuwah Islamiah. Suasana kehidupan di pondok pesantren selalu diliputi semangat persaudaraan yang sangat akrab sehingga susah dan senang tamapak dirasakan bersama tentunya, terdapat banyak nilai-nilai keagamaan yang telah akrab di dalamnya. Tidak ada lagi pembatas yang memisahkan mereka, sekalipun mereka sejatinya berbeda-beda dalam aliran politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain baik selama berada di pondok pesantren maupun setelah pulang ke rumah masing-masing.
Jiwa kebebasan. Para santri diberi kebebasan untuk memilih jalan hidup kelak di tengah masyarakat. Mereka bebas menentukan masa depannya dengan berbekal jiwa yang besar dan optimism yang mereka dapatkan selama ditempa di pondok pesantren selama hal itu masih dianggap sejalan dengan nilai-nilai pendidikan yang mereka dapatkan di pondok peasntren.[3]
Jiwa Toleransi. semenjak reformasi digulirkan, diskursus pluralisme dan multikulturalisme di negeri ini terus berkembang pesat.Terkait dengan masalah tersebutsikap hidup toleran menjadi penting. Toleransi dipandang bisa menjadi perekat baru integrasi bangsa yang sekian lama tercabik cabik. Integrasi nasional yang selama ini dibangun berdasarkan politik kebudayaan lebih cenderung seragam dianggap tidak lagi relevan dengan kondisi dan semangat demokrasi global. Desentralisasi kekuasaan dalam bentuk otonomi daerah semenjak 1999 adalah jawaban bagi tuntutan demokrasi tersebut. Namun, desentralisasi sebagai keputusan politik nasional tern yata kemudian disadari tidak begitu produktif apabila dilihat dari kacamata integrasi nasional suatu bangsa besar yang isinya beraneka ragam suku bangsa, etnis, agama, dan status social.[4]
C.     Pengembangan pondok pesantren
Keberhasilan suatu pondok pesantren perlu didukung dengan manejemen yang baik Burhanuddin mengemukakan bahwa: manajemen memiliki kedudukan strategis dalam memberikan dukungan penyelenggaraan pendidikan, terutama dalam program peningkatan mutu pendidikan di sekolah (pondok). Manajemen bekerja daam proses pendayagunaan segenap sumber daya yang tersedia di sekolah (pondok) seoptimal mungkin demi terselenggaranya program-program pendidikan secara efektif dan efisien.
Dan ada beberapa aspek pengembangan yang perlu diketahui dalam pengembangan pondok pesantren, yaitu Pengembangan SDM pondok pesantren, pengembangan Manajemen pondok pesantren, pengembangan teknologi komunikasi pondok pesantren, pengembangan ekonomi pondok pesantren.
a.       Pengembangan SDM pondok pesantren
            Dalam hal ini pondok pesantren sebagai agen pengembangan masyarakat, sangat diharapkan mempersiapkan sejumlah konsep pengembangan SDM, baik untuk peningakatan kualitas pondok pesantren itu maupun untuk peningkatan kualitas pondok pesantren kehidupan masyarakat.[5]
b.      Pengembangan Manajemen pondok pesantren
            Total Quality Management (TQM), atau manajemen mutu menyeluruh, suatu konsep manajemen yang dikembangkan sejak lima puluh tahun lalu yang diambil dari berbagai praktik manajemen, usaha peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas barang dan pelayanan. Sistem manajemen pesantren memandangnya bahwa proses pendidikan santri adalah suatu peningkatan terus menerus, yang dimulai siklus adanya ide-ide untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas, pengembangan kurikulum, proses pembelajaran, dan ikut bertanggung jawab untuk memuaskan pengguna lulusan pondok pesantren tersebut.[6]
c.       Pengembangan teknologi komunikasi pondok pesantren
            Penerapan teknologi komunikasi dalam pengembangan pesantren agaknya dapat diidentifikasikan dengan penerapan teknologi komunikasi pendidikan, meski dalam berbagai aspek mempunyai perbedaan. Dalam menjalankan fungsi pengajaran, pengembangan dan penyebaran ilmu agama Islam, pesantren mempunyai unsur-unsur pokok: pondok, masjid, pengajaran, santri, dan kiai. Seluruh unsur tersebut berada dalam lingkunag sistem sosial yang menimbulkan tindakan manusia yang berwujud personal idividu, interaksi antar individu, kelompok, sistem sosial, dan budaya. Teknologi komunikasi, baik yang berkarakteristik audio visual, audio, ataupun grafis, sebenarnya dapat juga dimanfaatkan untuk sektor pembelajaran di pesantren.[7]
d.      Pengembangan ekonomi pondok pesantren
            Peran pesantren mempunyai nilai yang cukup strategis dan signifikan dalam memberikan sumbangsih dan perannya bagi peningakatan keswadayaan, kemandirian, dan partisipasi masyrakat. Dalam konteks pengembangan ekonomi umat, pesantren di samping berperan sebagai agent of social change, sekaligus sebagai pelopor kebangkitan ekonomi umat. Hal ini, terlihat setidaknya bagi komunitas pesantren dan masyrakat sekitarnya, dengan di bentuknya Kelompok Wirausaha Bersama (KWUB) antar pesantren maupun masyarakat, dan Forum Komunikasi Pengembangan Ekonomi Kerakyatan (FKPEK), meski diakui keberadaan lembaga ini masih dalam tahap permulaan.[8]
D.    Pembinaan pondok pesantren
Pembinaan santri adalah usaha untuk mempertahankan, melestarikan dan menyempurnakan manusia dalam hal ini adalah santri untuk menjadi sosok yang memiliki akhlaq-aqidah yang lurus. Dalam memberikan pembinaan tentang akhlaq ada tiga hal yang harus diberikan pendidik kepada peserta didik agar dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran islam menyeluruh. ketiga hal tersebut ialah pendidikan aqidah, pendidikan ibadah, pendidikan akhlaq.[9]
Berkenaan dengan bagaimana membina kemampuan mengelola serta merencanakan seluruh aktivitas kegiatan pondok pesantren maka perencanaan mengandung pokok-pokok sebagai berikut:
1.      Perencanaan selalu berorientasi masa depan, maksudnya perencanaan berusaha memprediksi bentuk dan sifat masa depan santri yang diinginkan berdasarkan situasi kondisi masalalu dan masa sekarang.
2.      Perencanaan merupakan sesuatu yang disengaja dilahirkan, dan bukan kebetulan, dan sebagai hasil pemikiran yang matang dan cerdas, yang bersumber dari hasil eksplorasi terhadap penyelenggaraan pendidikan.
3.      Perencanaan memerlukan tidakan dari orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan ketrampilan, baik secara individu maupun kelompok.
4.      Perencanaan harus bermakna, dalam arti bahwa usaha-usaha yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan diselenggarakanya pendidikan ketrampilan semakin efektif dan efisien
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: bahwa keberhasilan suatu kegiatan ditentukan baik buruknya perencanaan, perencanaan harus dapat memandang atau meramalakan kegiatan-kegiatan dimasa yang akan datang secara obyektif, perencanaan harus diarahkan kepada tercapainya suatu tujuan sehingga bila terjadi kegagalan dalam pelaksanaan kemungkinan besar penyebabnya adalah kurang sempurnanya perencanaan, perencanaan harus memikirkan: anggaran, kebijakan, prosedur, metode, dan kriteria-kriteria untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.[10]
Kita menyadari bahwa segala transformasi membutuhkan beberapa komponen kompleks yang mendukung tercapainya tujuan pendidikan pesantren tersebut. Komponen-komponen itu berupa “POSDCORB” yaitu planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting, dan budgeting.
1.      Aspek planning (perencanaan). Pada kenyataannya, pondok pesantren belum memiliki rencana jelas dalam melaksanakan kebijakan pendidikan dan pengajaran. Sehingga perlu dibuat pola-pola perencanaan seragam yang prinsipil dan tidak mengurangi nilai-nilai dari kepemimpinan pondok pesantren.
2.      Aspek organizing (organisasi). Pondok pesantren yang ada tidak memiliki keseragaman struktur organisasi dan administrasi, serta tidak mempunyai kesepakatan struktur kurikulumnya, sehingga perlu adanya semacam petunjuk berupa pola struktur dan administrasi dasar.
3.      Aspek Staffing. Pelaksanaan pendidikan pondok pesantren yang terdiri dari kiai, guru, dan pengurus. Guru dan pengurus perlu diberikan penataran, kursus-kursus, dan pengaderan. Hal tersebut diberikan karena staf termasuk dalam pembinaan personal.
4.      Aspek coordinating. Koordinasi bukanlah peleburan organisasi tapi berbentuk kerjasama yang baik antar pesantren. Koordinasi dapat dilakukan dengan membentuk Majelis Pembinaan Pondok Pesantren (MPPP) yang terdiri dari para kiai dan para sarjana yang bertanggung jawab langsung pada pemerintah.
5.      Aspek reporting (pembuatan laporan) dalam akhir tahun perlu diadakan laporan khusus pada majelis atau pengurus yayasan pengelola, yang berguna sebagai laporan objektif, juga merupakan evaluasi tentang pelaksanaan dan kehidupan di pesantren.
6.      Aspek budgeting (belanja negara). Karena pesantren bersifat swasta, pembiayaannya bersumber dari perwakafan, hibah, donator-donatur iuran, baik tetap maupun tidak. Seorang kiai dituntut untuk mempunyai charisma yang tinggi agar mendapatkan kepercayaan dari puhak luar.[11]
IV.             ANALISIS
Meninjau kembali tentang bagaimana pentignya pendidikan bagi kehidupan manusia, pemahaman akan adanya pondok pesantren memiliki peran dan kntribusi yang besar dalam pendidikan. Kita ketahui sebagai lembaga, pesantren dimaksudkan untuk mempertahankan nilai-nilai keislaman dengan titik berat pada pendidikan yang islami. Oleh sebab itu dalam lingkup pesantren itu sendiri perlu adanya pembinaan dan pengelolaan yang meliputi, pembinaan dan pengelolaan potensi, administrasi, kurikulum sampai pada perencanaanya. Agar nantinya mampu mencetak jebolan-jebolan pondok pesantren yang tidak hanya cakap dalam satu bidang saja (agama), melainkan berbagai bidang yang membawa daya guna bagi dirinya serta masyarakat luas.
Pesantren bukan lagi dipandang sebagai lembaga yang tertinggal, melainkan lembaga yang mempunyai daya saing yang besar dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain. Yang selalu melakukan pembenahan dan pengembangan dari segala bidang.
Kiprah pesantren dalam berbagai hal sangat amat dirasakan oleh masyarakat. Salah satu yang menjadi contoh utama adalah, pembentukan dan terbentuknya kader-kader ulama dan pengembang ke ilmuan islam.
            Dalam lembaga pendidikan islam (pesantren) yang bermutu akan melibatkan berbagai input dan out put. Maka dari itu diterapkan pula kurikulum TQM untuk menjamin pesantren yang lebih maju demi kualitas peserta didik atau santri yang berada dalam pesantren tersebut.
V.                 KESIMPULAN
Potensi Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan sesuatu. Potensi Pola kehidupan pondok pesantren sudah terdapat dalam istilah “panca jiwa” dimana di dalammya memuat “6 jiwa” yang harus diwujudkan dalam proses pendidikan dan pembinaan karakter santri. Ke enam jiwa tersebut adalah jiwa Keikhlsan, jiwa kesederhanaan, jiwa kemandirian, jiwa ukhuwah Islamiah, jiwa kebebasan, dan jiwa toleransi.
Keberhasilan suatu pondok pesantren perlu didukung dengan manejemen yang baik, pengembangan yang perlu diketahui dalam pengembangan pondok pesantren, yaitu Pengembangan SDM pondok pesantren, pengembangan Manajemen pondok pesantren, pengembangan teknologi komunikasi pondok pesantren, pengembangan ekonomi pondok pesantren.
Pembinaan santri adalah usaha untuk mempertahankan, melestarikan dan menyempurnakan manusia dalam hal ini adalah santri untuk menjadi sosok yang memiliki akhlaq-aqidah yang lurus. Berkenaan dengan bagaimana membina kemampuan mengelola serta merencanakan seluruh aktivitas kegiatan pondok pesantren maka perencanaan mengandung pokok-pokok sebagai berikut:
1.   Perencanaan selalu berorientasi masa depan
2.   Perencanaan merupakan sesuatu yang disengaja dilahirkan
3.   Perencanaan memerlukan tidakan dari orang-orang yang terlibat
4.   Perencanaan harus bermakna
Kita menyadari bahwa segala transformasi membutuhkan beberapa komponen kompleks yang mendukung tercapainya tujuan pendidikan pesantren tersebut. Komponen-komponen itu berupa “POSDCORB” yaitu planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting, dan budgeting.
VI.              PENUTUP
Demikian makalah manajemen diniyah dan pesantren yang berjudul potensi pondok pesantren dan upaya pengembangannya kami buat, semoga dapat memberikan manfaat kepada kita semua, dan dapat memberikan suatu pemahaman kepada pemakalah secara khususnya.
Sekian dari kami apabila ada kesalahan atau kekurangan dalam penulisan makalah ini atau dalam pemahamannya, dimohon kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan agar dapat membuat makalah selanjutnya dengan baik. Mohon maaf yang sebesar-besarnya dan atas perhatian pembaca kami mengucapkan terima kasih.



[1] http://kbbi.web.id/potensi (di akses pada hari kamis, 7 April 2016)
[2] Muhammad Fathurrohman, Sulistyorini, Implementasi manajemen peningkatan mutu pendidikan islam,( Yogyakarta: Penerbit Teras, 2012), hlm. 235
[3] Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam: Dari Ordonasi Guru sampai UU Sisdiknas, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013) hlm. 42-43
[4] http://eprints.uinsby.ac.id/121/1/Executive%20Summar%20ali%20maksum.pdf (di akses pada hari Jum’at, 8 April 2016)
[5] A. Halim dkk, Manajemen Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hlm. 3
[6] A. Halim dkk, Manajemen Pesantren, hlm. 85-89
[7] A. Halim dkk, Manajemen Pesantren, hlm. 159-162
[8] A. Halim dkk, Manajemen Pesantren, hlm. 207-208
[9] Ahmad Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1992), hlm. 20 
[10] Muhammad Fathurrohman, Sulistyorini, Implementasi manajemen peningkatan mutu pendidikan islam, hlm. 254-256
[11] Muhammad Fathurrohman, Sulistyorini, Implementasi manajemen peningkatan mutu pendidikan islam, hlm. 346-348

Minggu, 01 Mei 2016

ARSITEKTUR DAN PEWAYANGAN DALAM NILAI BUDAYA KE ISALAMAN JAWA, KUNJUNGAN MUSEUM RONGGOWARSITO

I.       Koleksi Ronggowarsito
Perintisan berdirinya Museum Jawa Tengah Ronggowarsito dimulai sejak 5 Juli 1975 dan diresmikan pada hari Sabtu Pahing, 2 April 1983. Dinamakan Museum Negeri Ronggowarsito dikarenakan beberapa pertimbangan diantaranya Pengambilan nama Ronggowarsito sendiri dari nama Seorang Pujangga Keraton Surakarta Hadiningrat yaitu Raden Ngabehi Ronggowarsito yang telah banyak meninggalkan kebudayaan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Jawa pada khususnya yaitu berupa buku-buku dan naskah. Karya–karyanya sangat akrab ditengah masyarakat jawa. Seperti serat Kalatidha dengan bait–baitnya yang meramalkan tentang adanya zaman edan. Museum Jawa Tengah Ronggowarsito merupakan Museum yang memiliki koleksi terbesar dan unsur pendukung lain adalah kelengkapan layanan dan sarana yang tersedia.
Museum Jawa Tengah Ronggowarsito Semarang memiliki total koleksi mencapai 59.784 unit yang terdiri dari berbagai kategori koleksi. Koleksi terbanyak adalah kategori numismatik-heraldika, yakni mata uang dan tanda pangkat. Jumlah koleksi numismatik-heraldika tersebut mencapai 44.961 unit, kategori etnografi sebanyak 6.803 unit, dan koleksi benda-benda arkeologi berjumlah 5.211 unit. Jumlah koleksi keramik, kata dia, sebanyak 1.199 unit, biologi sebanyak 617 unit, historika sebanyak 318 unit, seni rupa 397 unit, dan geologika berupa batuan alam sebanyak 200 unit.
Koleksi yang jumlahnya masih sedikit kategori filologika, berupa naskah atau manuskrip yang hanya 36 unit dan teknologika, seperti mesin ketik kuno sebanyak 42 unit. Museum Jawa Tengah Ronggowarsito termasuk Museum provinsi terbesar di Indonesia dalam hal jumlah koleksi dan keluasan bangunan. Museum ronggowarsito dirancang sesuai dengan standar museum di Asia tenggara. Luas bangunan kira-kira 8.438 m persegi. Yang mencakup pendopo, gedung pertemuan, gedung pameran tetap, perpustakaan, laboratorium, perkantoran.
II. Nilai Budaya Jawa dalam 5 Aspek Peninggalan
A. Gedung A:
1. Galeri Geologi (lantai 1)
·         Gunungan Blumbangan: tradisi Gunung Blumbangan dirancang oleh Raden Patah pada abad ke-15. Gunungan menggambarkan alam semesta, manusia, dan lingkungannya.
·         Lukisan Alam Semesta
·         Koleksi Kosmologika: berupa lukisan-lukisan galaksi, proses terbentuknya planet, atmosfer Bumi; serta koleksi benda angkasa luar berupa meteorit.
·         Koleksi Geologika dan Geografika: mencakup ilustrasi skala waktu geologi, diorama stalaktit-stalagmit, formasi batuan Karangsambung-Kebumen yang merupakan daerah penelitian batuan terbesar di Asia Tenggara.
·         Koleksi Ekologika: menyajikan diorama ekosistem, koleksi awetan binatang, dan foto-foto lingkungan alam yang terkenal di Jawa Tengah.
2. Galeri Paleontologi (lantai 2)
·         Kelompok Paleobotani: koleksi fosil-fosil kayu dari Sangiran yang terbentuk karena proses mineralisasi yaitu meresapnya mineral (silikat) kedalam struktur/pori-pori kayu, dan ilustrasi bentuk tumbuhan zaman purba.
·         Kelompok Paleozoologi: fosil (kerang, gajah purba, kerbau purba, dll) dan ilustrasi kehidupan binatang purba.
·         Kelompok Paleontologi: koleksi fosil-fosil fragmen tulang manusia purba jenis Pithecanthropus erectus, manusia-kera yang berjalan tegak.
B.  Gedung B:
1.  Peninggalan dari Peradaban Hindu-Buddha (lantai 1&2)
Budaya yang berasal dari pengaruh Hindu-Buddha dari India sering juga disebut peradaban klasik. Peradaban tersebut datang secara bergelombang, bermula dari awal tarikh Masehi, dan membawa tiga perubahan besar bagi masyarakat lokal yaitu: mengenal ajaran Hindu-Buddha, mengenal sistem pemerintahan kerajaan, dan mengenal bentuk tulisan. Koleksi yang dipamerkan berupa:
·         Miniatur Candi Borobudur, Prambanan, Kalasan.
·         Replika Prasasti Tukmas dan Cangal.
·         Arca-arca dan replika, lingga-yoni, kala-makara. Arca Ganesha dari Sawit, Boyolali, sangat sempurna dilihat dari sisi artistik.
·         Koleksi yang berhubungan dengan kehidupan religi seperti kentongan, kendi, genta, cermin yang dibuat dari perunggu.
·         Peralatan sehari-hari berupa lampu gantung, bokor, bejana, talam, cetakan mata uang.
2.  Peninggalan dari berbagai zaman peradaban (lantai 2)
·         Zaman batu: peradaban batu berupa serpih, kapal genggam, kapak besar (beliung), punden berundak, menhir, arca-arca di Jawa Tengah tersebar di berbagai wilayah.
·         Zaman perunggu: berupa benda-benda peralatan (kapak corong) dan benda-benda untuk kepentingan upacara keagamaan seperti nekara, digunakan dalam upacara memanggil hujan.
·         Zaman besi: tidak tersedia.
·         Peradaban Polinesia: disebut peradaban Polinesia karena berbagai langgam budaya yang ditinggalkan khas budaya Polinesia, berupa arca mirip Ganesha temuan dari Desa Jalatiga, Kecamatan Doro, Pekalongan.
·         Peradaban Hindu-Buddha
·         Zaman pengaruh Islam: pesisir utara Jawa Tengah (Tegal, Pekalongan, Semarang, Demak, Kudus, Jepara, Rembang, Lasem) termasuk daerah awal persebaran pengaruh Islam di Indonesia. Koleksi berupa fragmen seni hias, replika kaligrafi karya RM Sosrokartono, serta miniatur Masjid Agung Demak dan Masjid Sunan Kudus.
·         Peninggalan zaman kolonial: berupa meriam pertahanan temuan dari Tegal dan Brebes, pedang militer, lonceng dan jangkar kapal, dll.
C.  Gedung C:
1. Galeri bersejarah perjuangan bersenjata (Lantai I)
Koleksi dibagi dua bagian: koleksi semasa perjuangan fisik dan diplomasi, serta diorama antara lain: Diorama pertempuran lima hari Semarang, diorama peristiwa Palagan Ambarawa, Diorama gerilya dan kembali ke Yogyakarta.
2. Galeri koleksi teknologi dan kerajinan tradisional (Lantai II)
Ruangan ini dibagi menjadi beberapa bagian, mencakup ruang teknologi mata pencaharian, ruang teknologi industri dan transportasi, ruang teknologi kerajinan, dan rumah tinggal.
D.  Gedung D:
1. Galeri Pembangunan (Lantai I)
Galeri ini dikelompokkan kedalam Ruang Pembangunan, Ruang Numismatika dan Heraldik, Ruang Tradisi Nusantara, Ruang Intisari dan Hibah.
2. Galeri Kesenian (Lantai II)
Galeri kesenian menampilkan koleksi benda dan peralatan kesenian yang dipisahkan menjadi Seni Pergelaran, dan Seni Pertunjukan dan Seni Musik.
E.   Gedung E:
Galeri Koleksi Emas Merupakan ruang susulan untuk menampilkan koleksi emas. Diresmikan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan, Edy Setyawati, pada tanggal 14 Oktober 1996. Koleksi dibagi menjadi empat kategori:
·         Perhiasan badan: anting-anting, gelang, binggel, hiasan dada, kelat leher, ikat pinggang.
·         Perhiasa kepala: mahkota dan grado.
·         Berbagai bentuk cincin.
·         Benda-benda untuk sarana upacara keagamaan, mata uang, lempengan prasasti, arca, keris, dan mangkuk.
III. Nilai-nilai Islam dalam Budaya Tersebut
Diantara budaya-budaya Islam yang dipamerkan disana ialah:
Miniatur Masjid Agung Demak yang merupakan masjid pertama di Jawa yang dibangun sebelum didirikannya Kerajaan Jawa. Peresmian masjid ini dilakukan oleh Sunan Kalijaga pada tahun 1479 M.  Masjid ini didirikan oleh Raden Patah, yaitu raja pertama dari Kesultanan Demak sekitar abad ke-15 Masehi. Masjid ini mempunyai bangunan-bangunan induk dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang utama yang disebut saka guru. Salah satu dari tiang utama tersebut konon berasal dari serpihan-serpihan kayu, sehingga dinamai saka tatal. Bangunan serambi merupakan bangunan terbuka. Sedangkan atapnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut Saka Majapahit. Atap limas masjid terdiri dari tiga bagian yang menggambarkan Iman, Islam, dan Ihsan.
 Selain itu juga terdapat miniatur Masjid Sunan Kudus (Menara Kudus) Masjid ini dibangun sekitar tahun 956 H/1549 M, pada masa Kesultanan Demak yang didirikan oleh Sunan Kudus. Keunikan masjid ini adalah bangunan menara yang terletak dibagian depan masjid. Bentuknya mengambil corak bangunan Hindu. Menara Kudus memiliki ketinggian sekitar 18 meter dengan bagian dasar berukuran 10 x 10 m. Di sekeliling bangunan dihias dengan piring-piring bergambar yang kesemuanya berjumlah 32 buah. Dua puluh buah di antaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma. Sementara itu, 12 buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang. Di dalam menara terdapat tangga yang terbuat dari kayu jati. Bangunan dan hiasannya jelas menunjukkan adanya hubungan dengan kesenian Hindu Jawa karena bangunan Menara Kudus itu terdiri dari 3 bagian yaitu kaki, badan, dan puncak bangunan.
Koleksi di ruang kesenian adalah kesenian wayang, yang ditampilkan dalam bentuk realita, evokatif, foto, peragaan dan proses pembuatannya. Selain itu ditampilkan pula kesenian tradisional yang masih berkembang di lingkungan masyarakat, seperti kuda lumping, barongan, nini thowok, serta perangkat kesenian tradisional masyarakat yang seperti: Wayang merupakan  koleksi yang dipamerkan meliputi wayang beber, wayang kidang kencanu, wayang kaper, wayang kandha, wayang Budha, wayang madya, wayang gedog, wayang duporo, wayang suluh, wayang kayu (golek) dan lain-lain, Seni Musik merupakan  koleksinya meliputi kuda lumping, evokatif barong, nini thowok, dan foto-foto seni pertunjukan seperti dolalak dari purworejo.
Wayang merupakan salah satu media yang digunakan oleh salah satu tokoh walisongo dalam menyebarkan ajaran agama islam. Dalam pertunjukan wayang, kehadiran Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong selalu dinanti-nanti para penonton. Keempatnya merupakan karakter khas dalam wayang Jawa (Punakawan). Pendekatan ajaran Islam dalam kesenian wayang juga tampak dari nama-nama tokoh punakawan. Barang kali tak banyak orang yang tahu kalau nama-nama tokoh pewayangan, seperti Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong sebenarnya berasal dari bahasa Arab.
Ada yang menyebutkan, Semar berasal dari kata Sammir yang artinya siap sedia. Namun, ada pula yang meyakini bahwa kata Semar berasal dari bahasa arab Ismar. Tokoh semar selalu tampil sebagai pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran yang ada, ia selalu tampil sebagai penasihat. Sosok wayang kedua adalah Gareng. Nama Gareng berasal dari kata Khair yang bermakna kebaikan atau kebagusan. Wayang yang ketiga adalah Petruk. Petruk berasal dari kata Fatruk yang berarti meninggalkan. Ada yang berpendapat kata petruk diadaptasi dari kata Fatruk kata pangkal dari sebuah wejangan (petuah) tasawuf, "Fat-ruk kulla maa siwallaahi" (tinggalkan semua apapun yang selain Allah). Sedangkan Tokoh Bagong diyakini berasal dari kata Bagho yang artinya kejelekan. pendapat lain menyebutkan Bagong berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak, yakni berontak terhadap kebatilan dan keangkaramurkaan.
IV. Kritik Budaya Jawa
Dalam melesetarikan budaya jawa setidaknya kita harus selalu mencermati nilai-nilai apa sajakan yang termuat atau terkandung dalam budaya tersebut. Karena di zaman modern saat ini, banyak kalangan sudah meninggalkannya terutama anak-anak muda sekarang, hal tersebut harus segera dibenahi agar kelak budaya yang telah turun-temurun dari dahulu akan hilang atau punah.
Karena di Indonesia sendiri sekarang suadah dimasuki budaya-budaya eropa atau budaya luar lainnya yang menggunakan konsep modernisasi. Maka dari itu kita sebagai orang yang masih peduli dan masih melestarikan budaya jawa tersebut, mengajak agar masyarakat Indonesia terutama jawa tidak meluapakan atau meningalkan budaya yang memang sudah dibawa dari nenek moyang. 
V.  Kesimpulan
Museum Ronggowarsito merupakan salah satu aset pelayanan publik yang menyimpan banyak koleksi budaya dan peninggalan-peninggalan sejarah. Museum Ronggowarsitoterdiri dari empat gedung yang menyimpan berbagai koleksi. diantara koleksi tersebut ada Masjid Agung Demak, Masjid Menara Kudus, gamelan, dan wayang. Koleksi tersebut memiliki interelasi antara budaya Jawa dan Islam.
VI. Dokumentasi Kunjungan











 #UINPeduliJawa