I. PENDAHULUAN
Segala
puji bagi Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.
Solawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Besar Nabi Muhammad
SAW,yang kia tunggu shafaatnya di Yaumul Akhir nanti.
Kebiasaan
masyarakat sehari-hari, jika dibenturkan dengan hukum Islam memerlukan
penyelarasan sedemikian rupa. Hal tersebut dikarenakan pedoman hidup Umat Islam
yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah SAW. Memerlukan penafsiran yang mendalam.
Kadang suatu ayat atau hadits diperutukan bagi kondisi khusus pada waktu
tertentu pada saat ayat tersebut diturunkan. Kemudian persoalan yang di hadapi
umat masa kini sulit menemukan solusi dalam penetapan hukumnya. Untuk menjawab
persoalan masyarakat, ushul fiqh datang sebagai ilmu yang menyatu dengan
masyarakat, berbaur dengan segala problematikanya, bahkan menawarkan ribuan,
atau mungkin jutaan solusi yang sangat strategis dan relevan. Salah satu
pembahasan tentang ushul fiqh adalah urf. Urf membahas tentang kebiasaan masyarakat
yang memiliki nilai yang relevan dengan syari’at Islam.
II.
Rumusan Masalah
- Apa
Pengertian Al-‘Urf ?
- Apa saja
pembagian Al-‘Urf ?
- Bagaimana
Kedudukan Al-‘Urf ?
- Apa
syarat-syarat Al-‘Urf ?
- Bagaimana
pandangan ulama tentang Al-‘Urf ?
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian ‘Urf
Dari
segi kebahasaan (etimologi) al-‘urf berasal dari kata yang terdiri dari kata
yang terdiri dari huruf ‘ain, ra’,dan fa’ yang berarti kenal. Dari kata ini
muncul kata ma’rifah (yang dikenal), ta’rif (definisi), kata ma’ruf (yang
dikenal sebagai kebaikan), dan kata ‘urf (kebiasaan yang baik).[1]
Kata Pengertian Al-‘Urf adalah sikap, perbuatan, dan perkataan yang “biasa”
dilakulkan oleh kebanyakan manusia atau oleh manusia seluruhnya.
Dari
takrif tersebut maka jelas ada perbedaan antara ‘urf dan Ijma’ yaitu:
1. ‘Urf
terjadi kerena ada persesuaian dalam perbuatan ataupun perkataan di antara
umumnya manusia baik pada orang biasa, orang cerdik cendikiawan atau para
mujtahid. Sedangkan di dalam Ijma’ kesepakatan hanya terjadi dikalangan para
mujtahid saja.
2. Apabila
‘urf ditentang oleh sebagian kecil manusia tidaklah membatalkan kedudukannya
sebagai ‘urf. Adapun dalam ijma, apabila tidak disetujui oleh seorang mujtahid
saja, sudah tidak bisa dianggap sebai ijma’ lagi.
3. Hukum
yang dihasilkan berdasarkan Ijma’ menjadi hukum yang pasti dalam arti tidak
bisa dijadikan objek Ijtihad. Adapun hukum yang dihasilkan berdasarkan ‘urf
bisa berubah dengan perubahan ‘urf itu sendiri.[2]
B.
Pembagian
‘Urf
‘Urf
ditinjau dari segi jangkaunya, ‘urf dapat dibagi menjadi dua, yaitu: al-‘urf
al-amm dan al-khashsh.
a. Al-‘Urf
al-Amm
Yaitu
kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi sebaian besar masyarakat dalam
berbagai wilayah yang luas. Misalnya, membayar ongkos kendaraan umum dengan
harga tertentu, tanpa perincian jauh atau dekatnya jarak yang ditempuh, dan
hanya dibatasi oleh jarak tempuh
maksimum. Demikian juga, membayar sewa penggunaan tempat pemandian umum
dengan harga tiket masuk tertentu, tanpa membatasi fasilitas dan jumlah air
yang digunakan, kecuali hanya membatasi pemakaian dari segi waktunya saja.
b. Al-‘Urf
al-Khashsh
Yaitu
adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu masyarakat tertentu, atau
wilayah tertentu saja. Misalnya, kebiasaan masyarakat jambi menyebut kalimat
”satu tumbuk tanah” untuk menunjuk pengertian luas tanah 10x10 meter. Demikian
juga kebiasaan masyarakat tertentu yang menjadikan kwitansi sebagai alat bukti
pembayaran yang sah, meskipun tanpa disertai dengan dua orang saksi.
Selanjutnya
ditinjau dari segi keabsahannya, al-‘urf dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
sbagai berikut:
a. Al-urf
ash-shahihah (Urf yang Absah)
Yaitu
adat kebiasaan masyarakat yang sesuai dan tidak bertentangan dengan aturan
hukum islam. Dengan kata lain, ‘urf yang tidak mengubah ketentuan yang haram
menjadi halal, atau sebaliknya. Misalnya, kebiasaan yang terdapat dalam suatu
masyarakat, hadiah (hantaran) yang diberikan pada pihak wanita ketika
peminangan, tidak dikembalikan kepada pihak laki-laki, jika peminangan
dibatalkan oleh pihak laki-laki. Sebaliknya, jika yang memabatalkan peminangan
adalah pihak wanita, maka hantaran yang diberikan pada wanita yang dipinang
dikembalikan dua kali lipat jumlahnya kepad pihak laiki-laki yang meminang.
b. Al-‘Urf
al-Fasidah (‘urf yang rusak/salah)
Yaitu
adat kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan ketentuan dan dalil-dalil
syara’. Sebalik dari al-‘urf
al-shahihah, maka adat kebiasaan yang salah adalah yang menghalalkan
hal-hal yang haram, atau mengharamkan yang halal. Misalnya kebiasaan berciuman
antara laki-laki dan wanita yang bukan makhrom dalam acara pertemuan pesta.
Demikian juga, adat masyarakat yang mengharamkan perkawinan antara laki-laki
dan wanita yang bukan makhrom, hanya karena keduanya berasal dari satu
komunitas adat yang sama (pada masyarakat adat Riau), atau hanya karena
keduanya semarga (pada masyarakat Tapanuli, Sumatra Utara)
C. Kedudukan Al-‘urf sebagai Dalil Syara’
Pada
dasarnya , semua menyepakati kedudukan al-‘urf as-Shahihah sebaigi salah stu
dalil syara’. Akan tetapi, diantara mereka terdapat perbedaan pendapat dari
segi intensitas penggunaaanya sebagai dalil. Ulama hanafiah dan malikiyah
adalah yang paling banyak mengunakan al-‘urf sebagai dalil, dibandikan dengan
ulama syafiiyah.
Adapun
kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’, didasarkan atas argument-argumen berikut
ini:
a. Firman
Allah SWT pada surat Al- a’raf (7):199
Jadilah
Engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah
dari orang-orang yang bodoh.
Melalui ayat di atas Allah SWT memerintahkan kaum
muslimin untuk mengerjakan yang makruf. Sedangkan yang disebut sebagai makruf
ialah yang di nilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan dan tidak bertentangan
dengan watak manusia yang benar.
b. Ucapan
sahabat Rasulullah SAW, Abdullah bin Mas’ud
Maksud ucapan Abdullah bin Mas’ud adalah dilihat
dari segi redaksi maupun maksudnya, menunjukan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik
yang berlaku didalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum
syariat islam merupakan sesuatu yang baik disisi Allah SWT. Sebaliknya, hal-hal
yang bertentangan dengan kebiasaan yang dinilai baik oleh masyarakat, akan
melahirkan kesulitan dalam kehidupan sehari-hari.[3]
Dari
segi objeknya, ‘urf dibagi dalam:
a.
Al-‟urf al-lafzhiAdalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan
tertentu untukmegungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang
dipahami dan terlintasdalam pikiran masyarakat.
b.
Al-‘urf al-amaliAdalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan
biasa atau muamalahkeperdataan. Yang dimaksud perbuatan biasa adalah perbuatan
masyarakat dalamdalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan
kepentingan orang lain.Adapun yang berkaitan dengan muamalah perdata adalah
kebiasaan masyarakat dalammelakukan akad/transakai dengan cara tertentu.
D. Syarat-Syarat Urf
Para
ulama ushul fiqh menyatakan bahwa suatu „urf, baru dapat di jadikan sebagai
salah satudalil dalam menetapkan hukum syara‟ apabila memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
- urf
itu baik yang bersifat khusus dan umum maupun yang bersifat perbuatan dan ucapan
, berlaku secara umum. Artinya, ’urf itu berlaku dalam mayoritas kasus
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh
mayoritas masyarakat tersebut.
- urf
itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya
itumuncul. Artinya, „urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih
dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
- urf
itu tidak bertentangan dengan yang di ungkapkan secara jelas dalam suatu
transaksi. Artinya, dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak telah
menentukan secara jelashal-hal yang harus dilakukan, seperti dalam membeli
es, di sepakati oleh pembeli
dan penjual, secara jelas, bahwa lemari es itu dibawa sendiri oleh pembeli kerumahnya.
Sekalipun ’urf menentukan bahwa lemari es yang dibeli akan diantarkan pedagang kerumah
pembeli, tetapi karena dalam
akad secara jelas mereka telah sepakat bahwa pembeli akan
membawa barang tersebut sendiri kerumah nyamaka urf itu tidak
berlaku lagi.
- urf
itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang
dikandungnash itu tidak bisa diterapkan. „urf seperti ini tidak dapat
dijadikan dalil syara‟, karenakehujjahan „urf bisa diterima apabila tidak
ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi.
E.
Pandangan
Ulama Dalam al-Urf
Berikut
adalah praktek-praktek ’Urf dalam masing-masing mahzab:
1.Fiqh
Hanafy
a.
Dalam akad jual beli. Seperti
standar harga, jual beli rumah yang meliputi bangunanya meskipun tidak
disebutkan.
b. Bolehnya jual beli buah yang masih
dipohon karena ’urf.
c.
Bolehnya mengolah lahan pertanian orang lain tanpa izin jika di daerah
tersebut ada kebiasaan bahwa lehan pertanian digarap oleh orang lain, maka
pemiliknya bisa meminta bagian.
d.
Bolehnya mudharib mengelola harta shahibul maal dalam segala hal menjadi
kebiasaan para pedagang.
e. Menyewa rumah meskipun tidak dijelaskan
tujuan penggunaaannya
2.Fiqh
Maliki
a. Bolehnya jual beli barang dengan
menunjukkan sample
b.
Pembagian nisbah antara mudharib dan sahibul maal berdasarkan ’urf jika
terjadi perselisihan
3.Fiqh
Syafi’i
a. Batasan penyimpanan barang yang dianggap
pencurian yang wajib potong tangan
b. Akad sewa atas alat transportasi
c. Akad sewa atas ternak
d. Akad istishna
4.
Fiqh Hanbali
a. Jual beli mu’thah
Para
ulama sepakat bahwa ‘urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah. Ulama Malikiyah
terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan
hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah
dapat dijadikan dasar hujjah. Para ulama telah sepakat bahwa seorang mujtahid
dan seorang hakim harus memelihara ’urf shahih yang ada di masyarakat dan
menetapkannya sebagai hukum. Para ulama juga menyepakati bahwa ’urf fasid harus
dijauhkan dari kaidah-kaidah pengambilan dan penetapan hukum. ’Urf fasid dalam
keadaan darurat pada lapangan muamalah tidaklah otomatis membolehkannya.
Keadaan darurat tersebut dapat ditoleransi hanya apabila benar-benar darurat
dan dalam keadaan sangat dibutuhkan.
Imam
Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi
beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah
(qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini
menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf
fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah. Abdul Wahab Khalaf
berpandangan bahwa suatu hukum yang bersandar pada ’Urf akan fleksibel terhadap
waktu dan tempat, karena Islam memberikan prinsip sebagai berikut:
“Suatu
ketetapan hukum (fatwa) dapat berubah disebabkan berubahnya waktu, tempat, dan
siatuasi (kondisi)”. Dengan demikian, memperhatikan waktu dan tempat masyarakat
yang akan diberi beban hukum sangat penting. Prinsip yang sama dikemukakan
dalam kaidah sebagai berikut:
“Tidak
dapat diingkari adanya perubahan karena berubahnya waktu (zaman)”.
Dari
prinsip ini, seseorang dapat menetapkan hukum atau melakukan perubahan sesuai
dengan perubahan waktu (zaman). Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa suatu ketentuan
hukum yang ditetapkan oleh seorang mujtahid mungkin saja mengalami perubahan
karena perubahan waktu, tempat keadaan, dan adat.
Jumhur
ulama tidak membolehkan ’Urf Khosh. Sedangkan sebagian ulama Hanafiyyah dan
Syafi’iyyah membolehkannya, dan inilah pendapat yang shohih karena kalau dalam
sebuah negeri terdapat ‘urf tertentu maka akad dan mu’amalah yang terjadi
padanya akan mengikuti ‘urf tersebut.
IV.
KESIMPULAN
Pengertian
Al-‘urf Dari segi kebahasaan (etimologi) al-‘urf berasal dari kata yang
terdiri dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain, ra’,dan fa’ yang berarti kenal.
Dari kata ini muncul kata ma’rifah (yang dikenal), ta’rif (definisi), kata
ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata ‘urf (kebiasaan yang baik).
Kata Pengertian Al-‘Urf adalah sikap, perbuatan, dan perkataan yang “biasa”
dilakulkan oleh kebanyakan manusia atau oleh manusia seluruhnya.
Pembagian
Al-urf, ‘Urf ditinjau dari segi jangkaunya, ‘urf dapat dibagi menjadi dua:
al-‘urf al-amm dan al-khashsh.
a. Al-‘Urf
al-Amm Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi sebaian besar
masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya, membayar ongkos
kendaraan umum dengan harga tertentu, tanpa perincian jauh atau dekatnya jarak
yang ditempuh, dan hanya dibatasi oleh jarak tempuh maksimum.
b. Al-‘Urf
al-Khashsh Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu
masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja.
Kedudukan
Al-‘urf sebagai Dalil Syara’ Pada dasarnya , semua menyepakati kedudukan
al-‘urf as-Shahihah sebaigi salah stu dalil syara’. Akan tetapi, diantara
mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaaanya sebagai
dalil. Ulama hanafiah dan malikiyah adalah yang paling banyak mengunakan
al-‘urf sebagai dalil, dibandikan dengan ulama syafiiyah.
V.
PENUTUP
Demikian
makalah Ushul Fiqh yang berjudul Al-‘Urf ini kami buat, buat semoga dapat
memberikan manfaat kepada kita semua, dan dapat memberikan suatu pemahaman
kepadapemakalah secara khususnya.
Sekian
dari kami apabila ada kesalahan atau kekurangan dalam penulisan makalah ini
atau dalam pemahamannya, dimohon kritik dan saran yang membangun sangat kami
butuhkan agar dapat membuat makalah selanjutnya dengan baik.
Dari
kami mohon maaf yang sebesar-besarnya dan atas perhatian pembaca kami
mengucapkan terima kasih