SISTEM POLITIK
PASCA ORDE BARU
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Pendidikan
Kewarganegaraan
Dosen Pengampu: Dr. Syamsul Ma’arif M.Ag
Disusun Oleh:
Neng Ariska 1403036067
Lathifatun Nashikhah 1403036072
Bryian
Adam Pratama 1403036076
Hadyan
Luthfi Julianto 1403036089
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Negara-negara yang baru lepas dari
jajahan Negara lainnya selalu dihadapi pada tuntutan untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang terjadi dalam Negara tersebut atau menyelesaikan masalah
inti untuk mempertahankan keutuhan dan kekuatan
Negara tersebut. Masalah tersebut seperti masalah politik, hokum dan
juga Hak Asasi Manusia.
Di Negara Indonesia system politik sudah
ada sejak lama. Namun system politik yang terjadi di Indonesia sendiri belum
sesuai atau belum terealisasikan dengan sempurna. Masih adanya kendala-kendala
yang menghambat terwujutnya system
politik ini mengakibatkan pro serta kontra dikalangan masyarakat sendiri dengan
kalangan pemerintah. Politik sendiri merupakan hal yang penting yang harus ada
dalam sebuah Negara demokrasi. Dimana politik dijadikan sebagai perlemen
sebagai wakil dari rakyat-rakyat suatu Negara.
Pembahasan lebih jauh lagi mengenai
apa itu system politik, bagaimana konfigurasi politik yang terjadi di Indonesia
serta sejarah politik Indonesia pada masa orde baru akan dibahas lebih lanjut
pada makalah ini.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
yang dimaksut dengan system politik?
2.
Bagaimana
konfigurasi politik di Indonesia?
3.
Bagaimana
sejarah politik Indonesia pada masa Orde Baru?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
system politik
1.
Pengertian
system
Menurut Prof. Pamuji, system merupakan: Suatu kebetulan atau
keseluruhan yang kompleks atau terorganisasi sehingga menjadi suatu himpunan
atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebetulan atau
keseluruhan yang kompleks atau utuh. Dimana didalamnya terdapat
komponen-komponen yang pada gilirannya akan menjadi suatu sistem tersendiri
yang mempunyai fungsi masing-masing dan saling berhubungan satu sama lain
menurut pola, tata atau norma tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan.
Menurut Prof. Prajudi, system merupakan suatu jaringan dari
prosedur-prosedur yang berhubungan satu sama lain menurut skema atau pola yang
bulat untuk menggerakkan suatu fungsi yang utama dari suatu usaha atau urusan.
Menurut Prof. Sumantri, yang mendiskripsikan pengertian system
dengan sekelompok bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu
maksud atau tujuan. Apabila salah satu bagian rusak atau tidak dapat
menjalankan tugasnya, maka maksud yang hendak dicapai tidak dapat menjalankan
tugasnya, maka maksud yang hendak dicapai tidak akan terpenuhi, atau
setidak-tidaknya sistem yang telah terwujud akan mendapat gangguan.
Sedangkan Drs. Musaef memberikan pengertian system dengan suatu
sarana yang menguasai keadaan dan pekerjaan agar dalam menjalankan tugasnya
dapat teratur atau suatu tatanan dari hal-hal yang paling berkaitan dan
berhubungan sehingga membentuk satu kesatuan dan satu keseluruhan.[1]
Jadi sistem adalah kesatuan yang utuh dari suatu rangkaian yang
saling berkaitan satu sama lain. Dimana masing-masing organ system memiliki
tugas sendiri-sendiri dalam upaya menuju tujuan yang telah ditentukan.
2.
Pengertian
politik
Pengertian kata politik dalam bahasa arab disebut “siyasah” yang
selanjutnya kata ini kemudian diterjemahkan menjadi siasat, atau dalam bahasa
inggrisnya disebut politics. Politik itu sendiri memang berarti cerdik
dan bijaksana, yang dalam pembicaraan sehari-hari kita seakan-akan mengartiakn
sebagai suatu cara yang di pakai untuk mewujudkan tujuan tertentu.
Pada dasarnya politik mempunyai ruang lingkup dalam negara, karena
teori politik menyelidiki bahwa sebagai lembaga politik yang mempengaruhi
kehidupan masyarakat sehingga negara dalam keadaan bergerak. Selain dari pada
itu politik juga menyelidiki ide-ide, asas-asas, sejarah pembentukan negara,
hakikat negara, serta bentuk dan tujuan negara, di samping menyelidiki hal-hal
seperti kelompok elit, peranan partai politik, dan keberadaan pemilihan umum.
Asal mula kata politik itu sendiri berasal dari kata polis yang
berarti Negara atau kota. dengan demikian berarti ada hubungan khusus antara
manusia yang hidup bersama dalam hubungan tertentu kemudian timbullah aturan, kewenangan,
perilaku pejabat, legalitas kekuasaan dan akhirnya muncullah kekuasaan. Tetapi
politik juga dapat dikatakan sebagai kebijaksanaan, kekuatan, kekuasaan
pemerintah, pengaturan konflik yang menjadi konsus nasional, serta kemudian
kekuaan massa rakyat.
Pengertian lain mengenai politik yaitu suatu disiplin ilmu
pengetahuan yang berdiri sendiri, tetapi sebagaimana telah disampaikan di awal
bahwa politik juga dianggap sebagai sebuah seni karena sudah sering kita melihat
para politikus yang tanpa memiliki pendidikan mengenai ilmu politik, tapi mereka
mampu berkiat dalam hal politik seolah-olah memiliki bakat yang dibawa sejak
lahir dan dari naluri sanubarinya tersebut sebagai seniman politik, dengan
karismatik yang mereka miliki bisa menjalankan roda politik secara praktis.[2]
3.
Pengertian
system politik
Prof. Sumarti memberikan
penafsiran mengenai Sistem politik yaitu
pelembagaan dari hubungan antara manusia yang berupa hubungan antara
supra sruktur politik dan infra stuktur politik. Sedangkan dari pandangan David
Easton sistem politik merupakan terdiri dari alokasi nilai-nilai, kemudian
pengalokasian nilai-nilai tersebut dengan mengangkat masyarakat secara
menyeluruh. Sedangkan pandangan lain dari Gabriel Almond bahwa sistem politik
merupakan sistem interaksi yang ditemui dalam masyarakat merdeka, yang
menjalankan fungsi integrasi dan adaptasi.[3]
Sehingga dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sistem politih adalah
suatu rangkaian kegiatan yang terdapat dalam suatu Negara merdeka yang saling
berhubungan antara satu dengan yang lain, dimana rangkaian tersebut merupakan
suatu keutuhan yang apabila salah satu terganggu akan berpengaruh pada bagian
yang lainnya dalam suatu urusan atau inti dari Negara tersebut.
B.
Konfigurasi
politik di Indonesia
Konfigurasi diartikan sebagai bentuk
atau susunan atau pun wujut untuk menggambarkan suatu benda. Sehingga jika
dihubungkan dengan kata politik, Konfigurasi politik merupakan susunan atau
tata letak atau yang berkaitan dengan kehidupan politik yang terdapat pada
suatu masa yang menggambarkan suatu keadaan
politik pada masa tersebut, serta kaitan, relavansi, pengaruh atau arti
pentingnya untuk memahami atau menjelaskan penegakan hokum, khususnya dalam
menyelesaikan pelanggaran HAM pada masa lalu.[4]
Teori konfigurasi politik pernah
digunakan oleh Moh. Mahfud MD untuk menjelaskan pertanyaan tentang pengaruh
politik terhadap produk hokum, pertanyaan yang dibangun atas asumsi bahwa hokum
merupakan produk politik karena itu pengaruh konfigurasi politik akan
menentukan produk hokum yang dibuat. Konfigurasi politik demokratis akan
melahirkan produk hokum responsive atau populis, sedangkan konfigurasi politik
otoriter melahirkan produk hokum konservatif atau ortodok atau elitis.[5]
Konfigurasi politik demokratis
merupakan susunan system politik yang membuka kesempatan bagi partisipasi
rakyat secara aktif dalam menentukan kebijaksanaan hokum yang berlaku.
Partisipasi ini ditentukan atas dasar mayoritas wakil-wakil rakyat dalam
pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik, dan
di aplikasikan dalam kebebasan politik. Sementara itu, Konfigurasi politik
otoriter merupakan susunan system politik yang lebih memungkinkan Negara
berperan sangat aktif, serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pengambilan kebijaksanaan
Negara. Konfigurasi ini ditandai dengan dorongan elite kekuasaan untuk
memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan Negara
untuk menentukan kebijaksanaan Negara dan dominasi kekuasaan politik oleh elite
politik yang kekal, dan dibalik semua itu ada suatu doktrin yang membenarkan
konsentrasi kekuasaan.
Dalam upaya mengualifikasikan apakah
konfigurasi politik itu bersifat demokrasi ataukah bersifat otoriter, Moh.
Mahfud MD menggunakan indicator berupa bekerjanya tiga pilar demokrasi yaitu
dalam hal peranan partai politik dan badan perwakilan, kebebasan pres, dan
peranan eksekutif. Pada konfigurasi politik demokratis partai politik dan
lembaga perwakilan rakyat berperan aktif dalam menentukan hokum Negara atau
politik nasional. Dalam konfigurasi politik ini kehidupan pres relative bebas
sedangkan peranan lembaga eksekutif ( pemerintah ) tidak dominan dan tunduk
pada kemauan-kemauan rakyat yang digambarkan lewat kehendak lembaga perwakilan
rakyat. Sedangkan Konfigurasi politik otoriter yang terjadi Negara yang
berperan aktif dalam menentukan hokum. Dimana partai-partai politik tidak
berperan dalam kebijakan penganbilan keputusan.
Politik hokum dalam konfigurasi
politik yang demokratis ditujukan untuk menciptakan hokum yang mendekatkan tata
hokum dengan realitas social dimana karakteristik produk hukumnya bersifat
populis, progresif. Sedangakan pada konfigurasi politik otoriter umumnya
ditujukan untuk menciptakan hokum dalam mempertahankan kekuasaan dari rezim
penguasa sehingga menjauhkan tata hukum dengan realitas social dimana produk
hukumnya adalah elitis, konserfatif.[6]
Beberapa konfigurasi politik yang
terjadi di Indonesia
1.
Konfigurasi
Politik Pasca-Soeharto
Konstelasi politik merupakan warisan politik nondemokrasi, jatuhnya
kepemimpinan Soeharto menjadi sebuah symbol dan penyangga utama struktur
politik otiritarian orde baru yang telah
membuat kekuasaan politik kehilangan keseimbangan. Desakan rakyat melalui isu
reformasi yang memaksa MPR-DPR, Golkar, eksekutif, dan militer mengubah watak
kekuasaannya. Dimana penyangga kekuasaan harus mengikuti tuntutan reformasi
berupa demokratisasi, keterbukaan, penegakan supremesi hokum, penegakan HAM,
pemberantasan KKN, dan perubahan UUD 1945.
Respon serta sikap Soeharto sesungguhnya ingin mempertahankan
kekuasaannya, tetapi karena desakan rakyat inilah yang membuat Soeharto harus
menerima keinginan rakyat untuk meninggalkan jabatannya. Sebagaimana
disampaikan sejumlah tokoh pada tanggal 19 Mei 1998. Pergeseran konfigurasi
politik dikalangan pendukung orde baru setidaknya menjadikan komitmen dan
karakter politik rezim orde baru berubah dimana mereka mulai mencari posisi
aman dengan memberikan pernyataan yang tidak lagi secara tegas membela Soeharto bahkan menjauh Soeharto lalu
meninggalkannya. Tumbanganya rezim otoritarian yang iakui oleh proses menuju
demokratis mulai lebih nyata di era presiden Bj Habibi. Pidato pertamanya setelah
dilantik BJ. Habibi berkomitmen untuk melakukan reformasi secara bertahap konstitusional di segala bidang, meningkatkan
kehidupan demokratis, menyusun kabinet sesuai tuntutan zaman, aspirasi dan kehendak rakyat
dengan adanya kabinet propesional serta memiliki didikasi dan integritas tinggi.
Kabinet Reformasi Pembangunan pada masa BJ Habibi
mengedepankan reformasi politik, ekonomi dan hukum. Di bidang politik dengan memperbaharui berbagai undang-undang untuk meningkatkan kehidupan berpolitik,
kebebasan pers, pebebasn berpendapat, dan menyiapkan pemilu.
Sedangkan di bidang ekonomi mempercepat menyelesaikan UUD 1945 yang
menghilangkan praktek-praktek monopoli dan persaingan yang tidak sehat. Sedangkan pembangunan di bidang hukum menggagas perubahan UUD 1945 dengan meninjau kembali suversi, retifikasi instrumen
internasional dan menyiapkan UU tentang HAM. Kabinet ini di jadikan sebagai landasan disusunnya konfigurasi politik
yang demokratis pada masanya.[7]
2. Konfigurasi setelah pemilu 1999
Secara teoritis konfigurasi politik di di
Indonesia setelah pemilu 1999 adalah konfigurasi politik demokratis. Keberhasilan
melakukan perubahan terhadap UUD 1945 adalah sebuah ujian terpenting sekaligus
sebagai bukti adanya konfigurasi politik yang baru dan kuat dan demokratis di
DPR sekaligus perubahan UUD 1945 yang bersifat elitis dan kecilnya perubahan
masyarakat dalam perubahan tersebut. Tahun 1999-2003 DPR dan pemerintah
menghasilkan UU baik yang bersifat retifikasi terhadap konfensi HAM
internasional, perubahan UU, peraturan pemerintah yang tidak sejalan dengan HAM
maupun produk hukum yamg berorientasi pada penguatan penghormatan perlindungan
dan penegakan HAM.
Era pemerintahan Gus Dur program revormasi kehidupan politik, hukum, dan HAM sebagai upaya
mewujudkan formal dan substansi negara hukum dan demokrasi terus dilakukan. Konfigurasi
politik demokrasi di era Gus Dur ini tidak optimal dalam konteks demokratis
yang produktif dalam penyelesaian pelanggaran HAM hal ini terjadi karena kerapuhan rezim demokrasi sipil itu sendiri. Gaya dan prilaku politik pada era Gus Dur sering kali mengalami kontrofersi serta dukungan
perlemen yang lemah.
Hal ini menjadikan konfigurasi politik tersebut tidak stabil. Hal ini tentunya
menguntungkan pihak militer, setidaknya membuat agenda pengusutan
kejahatan HAM menjadi terabaikan dan memungkinkan militer melakukan langkah
rahasia untuk melemahkan agenda pengusutan
tersebut.
Kemudian sistem demokrasi yang terjadi menjadikan demokrasi yang layu sebelum berkembang atau demokrasi beku. Sedangkan
respon dari pihak militer sendiri terhadap agenda politik telah ditunjukan sejak tahun
1998 dengan merumuskan Paradikma Baru TNI yang mengandung serangkaian doktrin yang mengubah peranan
sosial politik TNI. Dengan ini TNI mengubah arah peranannya dan tidak lagi
tampil pada garis paling depan melainkan merubahnya dalam hal tidak lagi
“menduduki” melainkan “ mempengaruhi” dengan cara menjadi pengaruh secar tidak langsung.
Keberhasilan militer dalam konsolidaritas juga dipengaruhi oleh Gus Dur, lebih-lebih pada era
pemerintahan Megawati yang tidak konsisten dalam mengonsolidarikan sipil. Di
era Megawati militer bahkan memperoleh
ruang dan kesempatan melakukan recovery seiring dengan kebijakan pemerintahan
Megawati yang kembali menghidupkan pendekatan keamanan dalam pemerintahan.[8]
3. Konfigurasi politik setelah pemilu 2004
Dalam rentan waktu 1999 hingga menjelang
pemilu 2004 telah terjadi banyak perubahan politik dan hukum yang sangat
signifikan antara lain perubahan UUD 1945. Pada masa ini terdapat empat
hal perubahan, pertama,
perubahan yang terfokus pada kewenangan presiden yaitu
mengatur masa jabatan presiden yang hanya boleh menjabat maksimal dua kali masa
jabatan. Kedua, Selain mengatur masalah pemerintah pada masa ini juga mengatur
tentang pemerintahan daerah, pembagian kewenangan pusat dan daerah, kewenangan
DPR dan DPRD, serta HAM. Perubahan Ketiga, mengatur pemilu, kekuasaan
kehakiman, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Dewan Perwalian Daerah.
Perubahan keempat mengatur tentang pendidikan, kebudayaan, dan perekonomian.
Dari keempat perubahan ini perubahan ke tigalah yang memiliki pengaruh paling
besar terhadap pelaksannan pemilu 2004 karena perubahan dalam ketentuan
mengenai pemilu dan kekuasaan kehakiman yang merupakan dua elemen yang sangat
penting dalam demokrasi. Pemilu 2004 sangat berbeda dengan dengan pemilu
sebelumnya, dimana pemilu 2004 memiliki kemajuan yang sangat pesat dalam
demokrasi procedural kita.[9]
C.
Sejarah
politik Indonesia masa Orde Baru
Orde baru bukan sebuah fenomena
politik yang monolitik, yang bisa dijelaskan dengan menggunakan satu atau dua
kata kunci saja. Orde baru belakangan ini menampilkan cirinya yang otoritarian.
Namun sebenarnya orde baru juga tercatat memiliki komitmen menumbuhkan orde
yang dipimpin oleh Jendral H. Muhammad Soeharto.
1.
Periodisasi
Politik Orde Baru
Politik orde baru adalah fenomena kompleks sehingga jauh dari
monopolik. Dengan demikian ada manfaatnya melihat orde baru dengan melakukan
pentahapan seperti yang dilakukan oleh Adreas Vickers. Adreas Vickers membagi
sejarah orde baru dalam tiga bagian yang saling berkitan satu sama lain, yaitu
fase honeymoon, stalinist dn fase keterbukan, krisis.
a.
Periode
honeymoon
Vickers
menyebut periode 1967-1974 sebagai fase honeymoon. Pada periode ini sistem
politik di negeri ini relatif terbuka. Bangsa Indonesia bisa menikmati
kebebasan pers. Militer tidak mendominasi banyak aspek pemerintahan.
sebiliknya, militer menjalin aliansi dengan mahasiswa, kelompok Islam dan
sejumlah tokoh politik pada masa soekarno. Soeharto menjalin hubungan erat
sehingga menjadi jalinan triumvirate yang kuat dengan adam malik yang dikenal
sebagai tokoh politik kekirian ( Tan Malakainst ) dan Hamangkubuono IX yang
dikenal sebagai Soekarnois liberal.
Periode ini
diakhiri dengan peristiwa Malari yang disertai dengan dimulainya tekanan atas
kekuatan mahasiswa di satu pihak dan di lain pihak sebuah upaya Soeharto
membangun kekuatan dari takanan lawan politik ditubuh militer. Arus politik
pada masa ini memunculkan tokoh populer, Ali Moertopo dengan para pengikutnya
yang menyebar dihampir semua posisi politik dan birokrasi. Bersamaan dengan
itu, arus politik membawa Indonesia untuk melakukan pengintegrasiaan Timor
Timur menjadi bagian dari Indonesia pada tahun 1976.[10]
b.
Periode
Stalinist
Fase kedua
adalah periode tahun 1974-1988/1989 yang disebut sebagai fase stalinist. Pada
fase ini otoritarianisme menjadi ciri yang mengedepankan dalam arena
kepolitikan di Indonesia. Tidak ada gerakan mahasiswa pada periode ini, kecuali
gerakan-gerakan yang lingkup dan isi perjuangannya bersifat lokal, seperti desakan
proses mahasiswa terhadap pembangunan waduk kedungombo, penurunan SPP, protes
pemecatan Arief Budiman di Universitas Satyawacana, protes Mahasiswa ujung
pandang atas kenaikan tarif angkot. Pada fase ini militer bergandengan erat
dengan birokrasi sehingga menjadi instrumental politik penguasa Orde Baru yang
sangt tangguh.
c.
Periode
Keterbukaan
Periode ini
pada akhir 1980-an. Pada masa ini mulai muncul kekuatan yang selama ini
bersebrangan dengn kekuasaan. Di parlemen muncul “interupsi” dari salah seorang
anggota fraksi ABRI (sekarang TNI dan POLRI). Ada yang bilang periode ini
merupakan saat-saat orang mengucapkan “good bye” untuk menjadi manusia “yes
men” menunggu petunjuk bapak presiden. Dalam dunia ekonomi pemerintahan
mengeluarkan sejumlah deregulasi, yang mempercepat arus masuknya modal asing.
Investasi dunia perbankan menjadi dipermudah.
Bank tumbuh
bukan hanya di kota tetapi sampai ke kecamatan dengan modal Rp 50 juta bisa
membuat bank seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bersamaan dengan itu,
perkembangan sejarah politik internasional ditandai dengan munculnya
keterbukaan dan reformasi yang di gulirkan oleh presiden Uni Soviet, Michel
Gorbachove.
d.
Periode
Krisis
Puncak keterbukaan
yang berlangsung di Indonesia adalah masa krisis. Dimulai dengan krisis
moneter. Kurs rupiah dimata dolar As
merosot tajam. Ibarat kapal, negeri ini yang dihantam ombak besar.
Sejumlah petinggi negri ini mengatakan tidak ada masalah, karena fundamental
ekonomi kita cukup kuat. Ternyata tidak demikian. Indonesia terus diterpa badai
moneter. Kurs rupiah benar-benar tidak terkendali, sampai lebih Rp 10 ribu per
dolar AS. Krisis ini diserti dengan krisis sosial politik yang tak terkendali.
Kelompok
kritis, dosen-dosen senior perguruan tinggi negeri di Indonesia “turun gunung”
dan dewan demontrasi mahasiswa pecah dimana-mana. Rezim Suharto benar-benar
sedang diterpa badai, dan akhirnya menyerahkan kekusaan kepada BJ. Habibie pada
tahun 1998. Sejak itu berakhirlah rezim Suharto. Dan dimulailah era baru yaitu era
reformasi. Indonesia memulai dalam sejarah politik, dengan awal yang tidak
mudah. Tertatih-tatih bangsa ini, mengatasi kerusuhan, pembakaran, perusakan,
separatisme, hingga penjabretan, penolongan dan berbagai bentuk kriminalitas
yang tak terkendali oleh aparat kekuasaan.[11]
2.
Hubungan
Negara dengan masyarakat
Pada masa orde baru Negara sangat kuat dan tidak ada perubahan yang
tidak dimulai dari Negara itu sendiri. Pada massa ini masyarakat tidak memiliki
ruang untuk ikut partisipasi dalam bidang politik. Dimana peraturan-peraturan
yang terdapat dalam suatu Negara didominasi oleh Negara itu sendiri. Pandangan masyarakat terhadap Negara ini
sangat kuat karena Negara mengorganisasikan masyarakat yang memiliki berbagai
kepentingan secara korporatis. Sehingga masyarakat yang plural dapat
menyalurkan kepentingan yang berbeda-beda melalui mekanisme yang tidak
menimbulkan konflik antar kelompok maupun individu.
Melalui pengorganisasian yang secara korparatis inilah Negara
menaklukan masyarakat sendiri. Dengan pengorganisasian ini memudahkan Negara
dalam memenuhi berbagai kepentingan yang otonom, kepentingan ekslusif Negara
yang tidak mencerminkan aspirasi dan tuntutan masyarakat. Sebagai implikasinya,
masyarakat mengalami depolitisasi. Dimana masyarakat yang tersingkirkan,
tereksploitasi, dan tidak kuasa melawan tekanan dari Negara.[12]
3.
Praktek
Negara hegemonik dan koersif
Pada masa orde baru Negara menjadi kuat salah satunya karena menerapkan
cara-cara hegemoni dikombinasikan dengan cara koersif. Hegemoni sendiri yaitu
cara menundukkan orang lain agar tidak menggunakan kekerasan, melainkan
menggunakan cara-cara cultural seperti penggunaan ideology, agama, nilai-nilai
budaya tertentu sebagai alat kekuasaan.
Dalam kerangka hegemoni, pemerintahan orde baru menggunakan
ideology Pancasila sebagai instrument berkuasa. Seperti pada tahun 1978
pemerintah menyusun penafsiran Pancasila menjadi Eka Prastya Pancakarsa. Tahun
1983 pemerintah juga melakukan penanggulangan azas bagi organisasi social
kemasyarakatan, keagamaan, maupun politik.[13]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
System politik yang terjadi di
Indonesia masih belum sesuai dengan apa yang di harapkan oleh masyarakat.
Dimana sistem tersebut belum bisa berjalan atau belum bisa terlaksana secara
efektif dan efisien. Masih banyak yang harus dilakukan atau dibenahi agar bisa
tencapai dari tujuan utamanya yaitu menjadikan Negara ini lebih teratur dan
terarah dalam segala hal seperti peraturan-peraturan yang mengikat suatu Negara
beserta isinya.
Perkembangan system politik di
Indonesia mengalami pasang surut. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya
desakan-desakan dari masyarakut untuk mengubah system-sisten yang digunakan
Negara ini. Selain itu juga ada dukungan dari masyarakat terhadap system
politik di Indonesia seperti partisipasinya masyarakat dalam pemilihan pemilu.
B.
Kritik
dan Saran
Demikian uraian
singkat dari makah ini. Tak ada kesempurnaan
di dunia ini kecuali kekuasaan Allah SWT, oleh karena itu kritik dan saran yang
dapat membangun demi kemajuan dan kesempurnaan makalah-makalah
selanjutnya sangat dibutuhkan. Semoga apa yang
dibahas dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca
pada umumnya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Inu Kecana
Syafiie, Ilmu Politik (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), Hlm.12.
[2] Inu Kecana
Syafiie, Ilmu Politik ,…hlm.9-10.
[3] Inu Kencana
Syafiie, Ilmu Politik,…hlm.12
[4] Suparman
Marzuki, Politik Hokum Hak Asasi Manusia, Jakarta: Erlangga, 2014,
Hlm.85.
[5] Suparman
Marzuki, Politik Hokum Hak Asasi Manusia, …. Hlm.85.
[6] Suparman
Marzuki, Politik Hokum Hak Asasi Manusia,… hlm.86.
[7] Suparman
Marzuki, Politik Hokum Hak Asasi Manusia,… hlm.89-91.
[8] Suparman
Marzuki, Politik Hokum Hak Asasi Manusia,… hlm.93-96.
[9] Suparman
Marzuki, Politik Hokum Hak Asasi Manusia,… hlm.96-97.
[10] Zainuddin Maliki, Sosiologi Politik Makna
Kekuasaan dan Transformasi Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2010, Hlm.238-239.
[11] Zainuddin
Maliki, Sosiologi Politik Makna Kekuasaan dan Transformasi Politik,…hlm.239-242.
[12] Zainuddin
Maliki, Sosiologi Politik Makna Kekuasaan dan Transformasi Politik,…hlm.250-251.
[13] Zainuddin
Maliki, Sosiologi Politik Makna Kekuasaan dan Transformasi Politik,…hlm.251.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar