I.
PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah
SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Solawat serta
salam semoga tercurahkan kepada Baginda Besar Nabi Muhammad SAW,yang kia tunggu
shafaatnya di Yaumul Akhir nanti.
Islam, sebagaimana yang sering
diungkapkan, merupakan agama universal dan multi dimensi. Islam berbicara
tentang dimensi keTuhanan dan juga dimensi kemanusiaan, tentang akhirat dan
juga dunia, tentang ritual keagamaan dan juga sosial (muamalah), tetapi Islam
tidak pernah mendikotomisasi dimensi-dimensi tersebut serta ajaran dan
bentuk-bentuk peribadatan. Universalitas Islam tersebut justru harus dihadirkan
dalma diri setiap muslim secara integral, utuh dan kaffah, tidak
setengah-setengahdan parsial (udkhulu fi al-silmi kaffah). Bahwa amaliyah
ibadah yang berada pada wilayah ritual / ibadah mahdhah, harus memiliki
implikasi sosial, demikian pula aktivitas-aktivitas sosial / muamalah yang
dilakukan harus berada dalam kerangka peribadatan kepada Allah SWT. Shalat,
misalnya harus berimplikasi pada pencegahan dari prilaku keji dan mungkar
(tanha ‘an al-fahsya’ wa al munkar), tidak dilakukan untuk riya dan harus
berimplikasi pada upaya memberi bantuan
pada orang yang memerlukan. Demikian pula aktivitas sosial harus dilandasi oleh
keimanan dan niat ibadah kepada Allah. Melalui pemahaman dan pelaksanaan ajaran
agama secara utuh diharapkan dapat menumbuhkan kesalehan ritual dan kesalehan
sosial dalam diri seorang muslim secara seimbang, sinergis dan korelatif.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian kesalehan
ritual dan kesalehan sosial ?
2.
Apa saja contoh-contoh
kesalehan ritual yang berdampak kepada kesalehan sosial ?
3.
Bagaimana
keseimbangan antara kesalehan ritual dengan kesalehan sosial ?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian kesalehan ritual dan kesalehan sosial
a.
Kesalehan ritual
Kesalehan ritual (kesalehan individual)
merupakan jenis kesalehan yang ukurannya ditentukan berdasarkan seberapa taat
seseorang menjalankan shalat lima waktu, seberapa panjang zikir-zikir sesudah
sholat, dan seberapa sering sholat sunnah ia lakukan. Pada prinsipnya kesalehan
dalam jenis ini ditentukan berdasarkan ukuran serba legal formal sebagaimana
apa yang dituntun oleh ajaran agama. Dan biasanya, orang yang memiliki prilaku
ini akan merasa memiliki otoritas (kewenangan) untuk menilai kredibilitas moral
orang lain, ia menjadi semacam tim pemeriksa dan penilai keimanan orang lain.
Diantara kedua kesalehan yang akan kita bahas,
kesalehan dalam bentuk yang pertama sering diapresiasikan oleh sebagian besar
umat sebagai sebuah prilaku keagamaan yang egoistic dan individualistic. Orang
lebih bersemangat menjalankan sebagian ibadah-ibadah sunnah seperti zikir,
shalat, puasa, dan lain-lain, daripada ibadah-ibadah sosial seperti mengurus
kepentingan umum, bershilaturrahmi, membantu kesulitan tetangga dan
menyelesaikan problem kemiskinan. Seseorang akan lebih merasa beragama
dibanding orang lain jika telah memperhatikan aspek-aspek simbul (syiar)
keagamaan, kuantitas dan masalah-masalah furu’ seperti memelihara jenggot dan
atau membangun mesjid.
Tetapi
mereka nyaris tidak peduli terhadap masalah atau persoalan yang substansial,
esensial dan kualitas masyarakat. Kelompok ini lebih memprioritaskan ibadah
haji thathawwu’ (haji kedua, dst) daripada membiayai anak tetangga bahkan keponakannya
yang hampir putus kuliah/ sekolah karena tidak membayar SPP, atau mereka lebih
suka meng-haji-kan orang miskin yang belum mempunyai tempat tinggal ataupun
tempat tinggal yang layak daripada membantunya agar mempunyai rumah, dan
seterusnya.
b.
Kesalehan sosial
Kesalehan sosial merupakan bentuk
kesalehan yang lebih ditentukan oleh kehidupan praksis seseorang, seberapa
banyak kegiatan-kegiatan sosial yang ia lakukan, seberapa jauh rasa
toleransinya, tingkat kepeduliaannya terhadap sesamanya, cinta kasih,
harga-menghargai, dan prilaku lainnya yang berdimensi sosial. Kesalehan sosial
memandang bahwa kesalehan tidak ditentukan oleh banyak dan panjangnya do’a,
zikir-zikir, dan ritualitas keagamaan lainnya yang lebih mengesankan sikap
hidup egoistis, tetapi kesalehan itu ada pada perwujudan, manifestasi dan
apresiasi keimanan dalam praksis sosial. Dalam bentuknya yang lebih ekstrim,
kesalehan sosial ini kadang menafikan keimanan dan legal formal agama tetapi
mereka aktif dalam kegiatan kemanusiaan dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya,
prilaku yang demikian itu diistilahkan oleh Nurcholis Madjid sebagai “kesalehan
sosial tanpa iman” atau piety without faith.
Kesalehan
sosial muncul sebagai anti tesis dari kesalehan ritual. Kesalehan sosial
dilandasi oleh upaya memberikan solusi atas permasalahan-permasalah sosial yang
muncul di masyarakat. Untuk menghadapi problem kemanusiaan itu maka para pemuka
agama dan intelektualnya harus mampu menerjemahkan misi suci kebenaran agama
sebagai agama kemanusiaan yang menawarkan dirinya sebagai rahmatan li al
‘aalamiin dengan cara-cara yang sesuai dengan perkembangan pemikiran
dan dinamika zamannya. Bagi kalangan muslim sebagai pemeluk agama mayoritas di
Indonesia, ajaran-ajaran agama hendaknya tidak begitu saja diterima (taqliq)
tanpa adanya perubahan, pertumbuhan dan perkembangan. Memahami ajaran agama
hanya dengan tekstualnya saja harus diganti dengan memahami secara kontekstual.
Dari sinilah akan muncul harapan kita akan dapat menghindari pertikaian yang
menyebabkan kita tidak lagi dapat berkembang membangun peradaban yang lebih
maju.
B. Beberapa Contoh Kesalehan ritual yang berdampak pada
kesalehan sosial
a. Shalat
Dalam
hal sholat misalnya, Al-Qur’an menyatakan:
....فَاعْبُدْنِي
وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي (سورة طه:14)
“…Maka beribadahlah kalian kepada-Ku
(sembahlah Aku) (Allah SWT), dan dirikan lah shalat untuk mengingat-Ku”.
Dengan
kata lain shalat adalah sarana untuk menghadirkan Allah SWT. dalam setiap
individu. Kesadaran akan kehadiran Allah akan menjadikan manusia selalu
menjalani hidupnya dengan kebaikan-kebaikan dan menjauhi keburukan-keburukan.
Hal ini ditegaskan dalam ayat Al-Qur’an yang lain sebagai berikut:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ
الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ
يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ (سورة العنكبوت:45)
“Dan dirikanlah shalat!
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar dan ingatlah
kepada Allah yang Maha Besar, dan Allah Maha mengetahui apa yang kalian
perbuat” (QS. Al-Ankabut: 45)
Dan
pernyataan yang paling jelas adalah Firman Allah SWT. dalam Surat Al-Maa’uun:
أَرَأَيْتَ
الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ
عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3) فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ
سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7) (سورة الماعون
: 1-7)
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan
agama? (1) Itulah orang yang menghardik anak yatim, (2) dan tidak menganjurkan
memberi makan orang miskin. (3) Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang
shalat, (4) (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. (5) orang-orang yang
berbuat riya. (6) dan enggan (menolong dengan) barang berguna (bagi orang lain).
(QS. Al-Maa’uun:1-7)[2]
b. Puasa
Puasa yang punya makna al-imsak punya arti "menunda
kesenangan". Kemampuan manusia dalam menunda kesenangan sangat tergantung
pada kekuatan jiwanya dalam mengendalikan hawa nafsu. Dalam Islam, momen ibadah
termasuk Ramadan tidak hanya terbatas pada ibadah ritual, tetapi sebenarnya
menyimpan makna moral dan sosial yang cukup kental.
Dalam Islam, ritual bukanlah hal yang steril dari persoalan
sosial. Ritual, dengan demikian, bukan merupakan tindakan untuk menghindar
(eskapisme) dari persoalan sosial yang nyata dan mengelilingi kehidupan manusia
setiap hari. Ritual puasa misalnya, mendidik seseorang untuk mengendalikan hawa
nafsunya serta memupuk rasa solidaritas sosial, khususnya kepada kaum yang
miskin, sengsara, dan tertindas.
c. Zakat
fitrah
Begitu pula zakat fitrah, sebuah kewajiban yang harus
ditunaikan setelah puasa Ramadan. Kalau tidak, maka puasanya dibiarkan
menggantung tidak diterima Allah, punya implikasi sosial yang nyata, yakni
bagai upaya meringankan beban dan membantu orang-orang yang rentan secara
ekonomi. Zakat--baik mal maupun fitrah--adalah thariqah untuk menegakkan
keadilan sosial yang nyata, bukan sekadar bergenit-genit dengan wacana belaka.
Bercermin
dari sosok Muhammad, kita seharusnya tidak hanya rajin beribadah, tetapi juga
mampu “melampaui” nafsu dan kesenangan duniawi yang acapkali menjebak dan
menjerumuskan. Selain itu, jauh lebih penting lagi kita sebaiknya punya
kepedulian sosial yang tinggi terhadap persoalan kehidupan dan umat manusia di sekitar
kita, baik pada level lokal, nasional, dan syukur bisa menyentuh level
internasional.
d. Qurban
Selama
ini, secara konseptual yang beredar, selalu sepakat adanyak praktek berkurban
adalah diilhami atas prilaku Nabi Ibrahim as yang dibilang sangar dramatis.
Beliau membuktikan rasa cinta dan kesetiaan dengan mengorbankan Islam putranya
yang disayangi melebihi segalanya. Pada titik itulah puncak penyerahan jiwa
tertinggi yang kadang kala sulit untuk diilustrasikan dengan kalimat sampai
kemudian ternyata disembelih Ibrahim as seekor domba.
Kisah
itulah yang sampai sekarang diadopsi masyarakat muslim sebagai akar tumbulnya
ritual qurban yang dilakukan rutin setiap tahun, dan tidak ada alasan menolak
formulasi yang telah digariskan baik secara daliliyah maupun histories itu,
terutama sekali bahwa ada kesesuaian antara waktu qurban Nabi Ibrahim as dengan
realisasi qurban saat ini, yakni tanggal 10 Dzul Hijjah terlepas dari tasrik
juga termasuk ke dalam waktu berqurban.
e. Haji
Haji
di samping dimaksudkan sebagai bentuk penyerahan diri secara total kepada Allah
dan tanpa reserve, ia juga melambangkan kesatuan, kesetaraan dan persaudaraan
umat manusia sedunia. Dimana semua muslim hanya memakai dua helai kain ihram
dan tidak diperkenankan memakai wangi-wangian, menutup kepala, memakai sepatu
dan apalagi memakai tanda-tanda kepangkatan betapapun kaya dan tinggi pangkat
kemanusiaan seorang jemaah haji, pada waktu itu semua sama, dan seraya serempak
menegaskan bahwa yang Maha Tinggi dan Maha Kaya adalah Allah SWT semata. memakai
sepatu dan apalagi memakai tanda-tanda kepangkatan betapapun kaya dan tinggi
pangkat kemanusiaan seorang jemaah haji, pada waktu itu semua sama, dan seraya
serempak menegaskan bahwa yang Maha Tinggi dan Maha Kaya adalah Allah SWT
semata.
C. Keseimbangan antara kesalehan ritual dengan
kesalehan sosial
Dalam Islam, sebenarnya kedua corak
kesalehan itu merupakan suatu kemestian yang tak usah ditawar. Keduanya harus
dimiliki seorang Muslim, baik kesalehan individual maupun kesalehan sosial.
Agama mengajarkan “Udkhuluu fis silmi kaffah !” bahwa kesalehan dalam Islam
mestilah secara total !”. Ya shaleh secara individual/ritual juga saleh secara
sosial. Karena ibadah ritual selain bertujuan pengabdian diri pada Allah juga
bertujuan membentuk kepribadian yang islami sehingga punya dampak positif
terhadap kehidupan sosial, atau hubungan sesama manusia.
Karena itu, kriteria kesalehan seseorang
tidak hanya diukur dari seperti ibadah ritualnya shalat dan puasanyanya, tetapi
juga dilihat dari output sosialnya/ nilai-nilai dan perilaku sosialnya: berupa
kasih sayang pada sesama, sikap demokratis, menghargai hak orang lain, cinta
kasih, penuh kesantunan, harmonis dengan
orang lain, memberi dan membantu sesama.
Kesalehan tidak hanya dilihat dari
ketaatan dan kesungguhan seseorang dalam menjalankan ibadah ritual, karena ini
sifatnya hanya individual dan sebatas hubungan dengan Allah (Hablum minallah)
tetapi kesalehan juga dilihat dari dampak kongkretnya dalam kehidupan
bermasyarakat. Kesalehan sangat tergantung pada
tindakan nyata seseorang, dalam hubungannya dengan sesama manusia
(Hablum minan nas); juga sangat tergantung pada sikap serta prilakunya terhadap
alam, baik hewan, tumbuh-tumbuhan dsb (hablum minal alam).
Karena itu kesalehan
mencakup hubungan baik dengan Allah (hablum minallah), hubungan baik dengan
sesama manusia (hablum minan nas), dan hubungan baik dengan alam (hablum minal
alam). Dengan demikian, Islam bukan agama individual. Ajaran Islam yang dibawa
Nabi Muhammad adalah agama yang dimaksudkan sebagai rahmat bagi semesta alam
(Rahmatan lil alamin). Agama yang tidak hanya untuk kepentingan penyembahan dan
pengabdian diri pada Allah semata tetapi juga menjadi rahmat bagi semesta alam.
Karena itu, dalam al-Quran kita jumpai fungsi manusia itu bersifat ganda, bukan
hanya sebagai abdi Allah tetapi juga sebagai khalifatullah. Khalifatullah berarti memegang
amanah untuk memelihara, memanfaatkan, melestarikan dan memakmurkan alam
semesta ini, karena itu mengandung makna hablum minan nas wa Hablum minal alam.
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa kesalehan individual semestinya melahirkan
kesalehan sosial. Namun dalam kenyataannya, selama ini terkesan bahwa banyak
orang yang ibadah mahdhahnya (ibadah ritualnya) baik tetapi ternyata tidak
memberi bekas dalam perilaku sosialnya. Sholat jalan terus tetapi perilaku
buruk lainnya juga jalan terus, sikap iri, dengki, kurang bertanggung jawab
pada tugas, kurang amanah, kurang meiliki etos dan semangat kerja, serta sikap
yang melukai dan menyakitkan orang lain.
IV.
KESIMPULAN
Kesalehan ritual (kesalehan individual) merupakan jenis
kesalehan yang ukurannya ditentukan berdasarkan seberapa taat seseorang
menjalankan shalat lima waktu, seberapa panjang zikir-zikir sesudah sholat, dan
seberapa sering sholat sunnah ia lakukan. Pada prinsipnya kesalehan dalam jenis
ini ditentukan berdasarkan ukuran serba legal formal sebagaimana apa yang
dituntun oleh ajaran agama. Kesalehan sosial merupakan bentuk kesalehan yang
lebih ditentukan oleh kehidupan praksis seseorang, seberapa banyak
kegiatan-kegiatan sosial yang ia lakukan, seberapa jauh rasa toleransinya,
tingkat kepeduliaannya terhadap sesamanya, cinta kasih, harga-menghargai, dan
prilaku lainnya yang berdimensi sosial.
Contoh Kesalehan ritual
yang berdampak pada kesalehan sosial :
a. Shalat
b.
Puasa
c. Zakat
fitrah
d. Qurban
Kesalehan tidak hanya dilihat dari
ketaatan dan kesungguhan seseorang dalam menjalankan ibadah ritual, karena ini
sifatnya hanya individual dan sebatas hubungan dengan Allah (Hablum minallah)
tetapi kesalehan juga dilihat dari dampak kongkretnya dalam kehidupan
bermasyarakat. Kesalehan sangat tergantung pada
tindakan nyata seseorang, dalam hubungannya dengan sesama manusia
(Hablum minan nas); juga sangat tergantung pada sikap serta prilakunya terhadap
alam, baik hewan, tumbuh-tumbuhan dsb (hablum minal alam).
V.
PENUTUP
Demikian makalah Sejarah Peradaban Islam
yang berjudul Kesalehan Ritual dan Kesalehan Sosial dalam Sejarah Peradaban
Islam ini kami buat, semoga dapat memberikan manfaat kepada kita semua, dan
dapat memberikan suatu pemahaman kepada pemakalah secara khususnya.
Sekian dari kami apabila ada kesalahan
atau kekurangan dalam penulisan makalah ini atau dalam pemahamannya, dimohon
kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan agar dapat membuat makalah
selanjutnya dengan baik.
Dari kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya dan atas perhatian pembaca kami mengucapkan terima kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar