Selasa, 29 Desember 2015

Al - ‘Urf (Ushul Fiqh)

I.      PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Solawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Besar Nabi Muhammad SAW,yang kia tunggu shafaatnya di Yaumul Akhir nanti.
Kebiasaan masyarakat sehari-hari, jika dibenturkan dengan hukum Islam memerlukan penyelarasan sedemikian rupa. Hal tersebut dikarenakan pedoman hidup Umat Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah SAW. Memerlukan penafsiran yang mendalam. Kadang suatu ayat atau hadits diperutukan bagi kondisi khusus pada waktu tertentu pada saat ayat tersebut diturunkan. Kemudian persoalan yang di hadapi umat masa kini sulit menemukan solusi dalam penetapan hukumnya. Untuk menjawab persoalan masyarakat, ushul fiqh datang sebagai ilmu yang menyatu dengan masyarakat, berbaur dengan segala problematikanya, bahkan menawarkan ribuan, atau mungkin jutaan solusi yang sangat strategis dan relevan. Salah satu pembahasan tentang ushul fiqh adalah urf. Urf membahas tentang kebiasaan masyarakat yang memiliki nilai yang relevan dengan syari’at Islam.




II.     Rumusan Masalah
  1. Apa Pengertian Al-‘Urf  ?
  2. Apa saja pembagian Al-‘Urf ?
  3. Bagaimana Kedudukan Al-‘Urf ?
  4. Apa syarat-syarat Al-‘Urf ?
  5. Bagaimana pandangan ulama tentang Al-‘Urf ?




III. PEMBAHASAN
A.       Pengertian ‘Urf
Dari segi kebahasaan (etimologi) al-‘urf berasal dari kata yang terdiri dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain, ra’,dan fa’ yang berarti kenal. Dari kata ini muncul kata ma’rifah (yang dikenal), ta’rif (definisi), kata ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata ‘urf (kebiasaan yang baik).[1] Kata Pengertian Al-‘Urf adalah sikap, perbuatan, dan perkataan yang “biasa” dilakulkan oleh kebanyakan manusia atau oleh manusia seluruhnya.
Dari takrif tersebut maka jelas ada perbedaan antara ‘urf dan Ijma’ yaitu:
1.      ‘Urf terjadi kerena ada persesuaian dalam perbuatan ataupun perkataan di antara umumnya manusia baik pada orang biasa, orang cerdik cendikiawan atau para mujtahid. Sedangkan di dalam Ijma’ kesepakatan hanya terjadi dikalangan para mujtahid saja.
2.      Apabila ‘urf ditentang oleh sebagian kecil manusia tidaklah membatalkan kedudukannya sebagai ‘urf. Adapun dalam ijma, apabila tidak disetujui oleh seorang mujtahid saja, sudah tidak bisa dianggap sebai ijma’ lagi.
3.      Hukum yang dihasilkan berdasarkan Ijma’ menjadi hukum yang pasti dalam arti tidak bisa dijadikan objek Ijtihad. Adapun hukum yang dihasilkan berdasarkan ‘urf bisa berubah dengan perubahan ‘urf itu sendiri.[2]

B.        Pembagian ‘Urf
‘Urf ditinjau dari segi jangkaunya, ‘urf dapat dibagi menjadi dua, yaitu: al-‘urf al-amm dan al-khashsh.


a.       Al-‘Urf al-Amm
Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi sebaian besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya, membayar ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu, tanpa perincian jauh atau dekatnya jarak yang ditempuh, dan hanya dibatasi oleh jarak tempuh  maksimum. Demikian juga, membayar sewa penggunaan tempat pemandian umum dengan harga tiket masuk tertentu, tanpa membatasi fasilitas dan jumlah air yang digunakan, kecuali hanya membatasi pemakaian dari segi waktunya saja.
b.      Al-‘Urf al-Khashsh
Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja. Misalnya, kebiasaan masyarakat jambi menyebut kalimat ”satu tumbuk tanah” untuk menunjuk pengertian luas tanah 10x10 meter. Demikian juga kebiasaan masyarakat tertentu yang menjadikan kwitansi sebagai alat bukti pembayaran yang sah, meskipun tanpa disertai dengan dua orang saksi.
Selanjutnya ditinjau dari segi keabsahannya, al-‘urf dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu sbagai berikut:
a.       Al-urf ash-shahihah (Urf yang Absah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang sesuai dan tidak bertentangan dengan aturan hukum islam. Dengan kata lain, ‘urf yang tidak mengubah ketentuan yang haram menjadi halal, atau sebaliknya. Misalnya, kebiasaan yang terdapat dalam suatu masyarakat, hadiah (hantaran) yang diberikan pada pihak wanita ketika peminangan, tidak dikembalikan kepada pihak laki-laki, jika peminangan dibatalkan oleh pihak laki-laki. Sebaliknya, jika yang memabatalkan peminangan adalah pihak wanita, maka hantaran yang diberikan pada wanita yang dipinang dikembalikan dua kali lipat jumlahnya kepad pihak laiki-laki yang meminang.
b.      Al-‘Urf al-Fasidah (‘urf  yang rusak/salah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan ketentuan dan dalil-dalil syara’. Sebalik dari al-‘urf  al-shahihah, maka adat kebiasaan yang salah adalah yang menghalalkan hal-hal yang haram, atau mengharamkan yang halal. Misalnya kebiasaan berciuman antara laki-laki dan wanita yang bukan makhrom dalam acara pertemuan pesta. Demikian juga, adat masyarakat yang mengharamkan perkawinan antara laki-laki dan wanita yang bukan makhrom, hanya karena keduanya berasal dari satu komunitas adat yang sama (pada masyarakat adat Riau), atau hanya karena keduanya semarga (pada masyarakat Tapanuli, Sumatra Utara)
C.    Kedudukan Al-‘urf sebagai Dalil Syara’
Pada dasarnya , semua menyepakati kedudukan al-‘urf as-Shahihah sebaigi salah stu dalil syara’. Akan tetapi, diantara mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaaanya sebagai dalil. Ulama hanafiah dan malikiyah adalah yang paling banyak mengunakan al-‘urf sebagai dalil, dibandikan dengan ulama syafiiyah.    
Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’, didasarkan atas argument-argumen berikut ini:
a.       Firman Allah SWT pada surat Al- a’raf (7):199
Jadilah Engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.

Melalui ayat di atas Allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang makruf. Sedangkan yang disebut sebagai makruf ialah yang di nilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan dan tidak bertentangan dengan watak manusia yang benar.
b.      Ucapan sahabat Rasulullah SAW, Abdullah bin Mas’ud
Maksud ucapan Abdullah bin Mas’ud adalah dilihat dari segi redaksi maupun maksudnya, menunjukan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku didalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syariat islam merupakan sesuatu yang baik disisi Allah SWT. Sebaliknya, hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan yang dinilai baik oleh masyarakat, akan melahirkan kesulitan dalam kehidupan sehari-hari.[3]

Dari segi objeknya, ‘urf dibagi dalam:
a. Al-‟urf al-lafzhiAdalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu untukmegungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintasdalam pikiran masyarakat. 
b. Al-‘urf al-amaliAdalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalahkeperdataan. Yang dimaksud perbuatan biasa adalah perbuatan masyarakat dalamdalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain.Adapun yang berkaitan dengan muamalah perdata adalah kebiasaan masyarakat dalammelakukan akad/transakai dengan cara tertentu.


D. Syarat-Syarat Urf
Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa suatu „urf, baru dapat di jadikan sebagai salah satudalil dalam menetapkan hukum syara‟ apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
  1. urf itu baik yang bersifat khusus dan umum maupun yang bersifat perbuatan dan ucapan , berlaku secara umum. Artinya, ’urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut.
  2. urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itumuncul. Artinya, „urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
  3. urf itu tidak bertentangan dengan yang di ungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. Artinya, dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak telah menentukan secara jelashal-hal yang harus dilakukan, seperti dalam membeli es, di sepakati oleh pembeli dan penjual, secara jelas, bahwa lemari es itu dibawa sendiri oleh pembeli kerumahnya. Sekalipun ’urf menentukan bahwa lemari es yang dibeli akan diantarkan pedagang kerumah pembeli, tetapi karena dalam akad secara jelas mereka telah sepakat bahwa pembeli akan membawa barang tersebut sendiri kerumah nyamaka  urf itu tidak berlaku lagi.
  4. urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandungnash itu tidak bisa diterapkan. „urf seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara‟, karenakehujjahan „urf bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi.

E.     Pandangan Ulama Dalam al-Urf
Berikut adalah praktek-praktek ’Urf dalam masing-masing mahzab:
1.Fiqh Hanafy
a.     Dalam akad jual beli. Seperti standar harga, jual beli rumah yang meliputi bangunanya meskipun tidak disebutkan.
b.      Bolehnya jual beli buah yang masih dipohon karena ’urf.
c.     Bolehnya mengolah lahan pertanian orang lain tanpa izin jika di daerah tersebut ada kebiasaan bahwa lehan pertanian digarap oleh orang lain, maka pemiliknya bisa meminta bagian.
d.    Bolehnya mudharib mengelola harta shahibul maal dalam segala hal menjadi kebiasaan para pedagang.
e.       Menyewa rumah meskipun tidak dijelaskan tujuan penggunaaannya

2.Fiqh Maliki
a.       Bolehnya jual beli barang dengan menunjukkan sample
b.      Pembagian nisbah antara mudharib dan sahibul maal berdasarkan ’urf jika terjadi perselisihan

3.Fiqh Syafi’i
a.       Batasan penyimpanan barang yang dianggap pencurian yang wajib potong tangan
b.      Akad sewa atas alat transportasi
c.       Akad sewa atas ternak
d.      Akad istishna

4. Fiqh Hanbali
a.  Jual beli mu’thah
Para ulama sepakat bahwa ‘urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Para ulama telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan seorang hakim harus memelihara ’urf shahih yang ada di masyarakat dan menetapkannya sebagai hukum. Para ulama juga menyepakati bahwa ’urf fasid harus dijauhkan dari kaidah-kaidah pengambilan dan penetapan hukum. ’Urf fasid dalam keadaan darurat pada lapangan muamalah tidaklah otomatis membolehkannya. Keadaan darurat tersebut dapat ditoleransi hanya apabila benar-benar darurat dan dalam keadaan sangat dibutuhkan.
Imam Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah. Abdul Wahab Khalaf berpandangan bahwa suatu hukum yang bersandar pada ’Urf akan fleksibel terhadap waktu dan tempat, karena Islam memberikan prinsip sebagai berikut:
“Suatu ketetapan hukum (fatwa) dapat berubah disebabkan berubahnya waktu, tempat, dan siatuasi (kondisi)”. Dengan demikian, memperhatikan waktu dan tempat masyarakat yang akan diberi beban hukum sangat penting. Prinsip yang sama dikemukakan dalam kaidah sebagai berikut:
“Tidak dapat diingkari adanya perubahan karena berubahnya waktu (zaman)”.
Dari prinsip ini, seseorang dapat menetapkan hukum atau melakukan perubahan sesuai dengan perubahan waktu (zaman). Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa suatu ketentuan hukum yang ditetapkan oleh seorang mujtahid mungkin saja mengalami perubahan karena perubahan waktu, tempat keadaan, dan adat.
Jumhur ulama tidak membolehkan ’Urf Khosh. Sedangkan sebagian ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah membolehkannya, dan inilah pendapat yang shohih karena kalau dalam sebuah negeri terdapat ‘urf tertentu maka akad dan mu’amalah yang terjadi padanya akan mengikuti ‘urf tersebut.















IV. KESIMPULAN
Pengertian Al-‘urf Dari segi kebahasaan (etimologi) al-‘urf berasal dari kata yang terdiri dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain, ra’,dan fa’ yang berarti kenal. Dari kata ini muncul kata ma’rifah (yang dikenal), ta’rif (definisi), kata ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata ‘urf (kebiasaan yang baik). Kata Pengertian Al-‘Urf adalah sikap, perbuatan, dan perkataan yang “biasa” dilakulkan oleh kebanyakan manusia atau oleh manusia seluruhnya.
Pembagian Al-urf, ‘Urf ditinjau dari segi jangkaunya, ‘urf dapat dibagi menjadi dua: al-‘urf al-amm dan al-khashsh.
a.       Al-‘Urf al-Amm Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi sebaian besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya, membayar ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu, tanpa perincian jauh atau dekatnya jarak yang ditempuh, dan hanya dibatasi oleh jarak tempuh  maksimum.
b.      Al-‘Urf al-Khashsh Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja.
Kedudukan Al-‘urf sebagai Dalil Syara’ Pada dasarnya , semua menyepakati kedudukan al-‘urf as-Shahihah sebaigi salah stu dalil syara’. Akan tetapi, diantara mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaaanya sebagai dalil. Ulama hanafiah dan malikiyah adalah yang paling banyak mengunakan al-‘urf sebagai dalil, dibandikan dengan ulama syafiiyah. 


V. PENUTUP
Demikian makalah Ushul Fiqh yang berjudul Al-‘Urf ini kami buat, buat semoga dapat memberikan manfaat kepada kita semua, dan dapat memberikan suatu pemahaman kepadapemakalah secara khususnya.
Sekian dari kami apabila ada kesalahan atau kekurangan dalam penulisan makalah ini atau dalam pemahamannya, dimohon kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan agar dapat membuat makalah selanjutnya dengan baik.
Dari kami mohon maaf yang sebesar-besarnya dan atas perhatian pembaca kami mengucapkan terima kasih




[1] Dr. H. Abd. Rahman dahlan,M.A. Ushul Fiqh,
[2] Prof. H. A. Djazuli, Kencana Prenada media, Jakarta 2010, hal 88-89
[3] Dr. H. Abd. Rahman dahlan,M.A. Ushul Fiqh,

SISTEM POLITIK PASCA ORDE BARU

SISTEM POLITIK PASCA ORDE BARU
                                                     

                                                                        MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu: Dr. Syamsul Ma’arif M.Ag



Disusun Oleh:
          Neng Ariska                             1403036067
Lathifatun Nashikhah               1403036072
Bryian Adam Pratama              1403036076
Hadyan Luthfi Julianto             1403036089

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
 UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
 SEMARANG
2015



BAB I
PENDAHULUAN
    A.    Latar Belakang
Negara-negara yang baru lepas dari jajahan Negara lainnya selalu dihadapi pada tuntutan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi dalam Negara tersebut atau menyelesaikan masalah inti untuk mempertahankan keutuhan dan kekuatan  Negara tersebut. Masalah tersebut seperti masalah politik, hokum dan juga Hak Asasi Manusia.
Di Negara Indonesia system politik sudah ada sejak lama. Namun system politik yang terjadi di Indonesia sendiri belum sesuai atau belum terealisasikan dengan sempurna. Masih adanya kendala-kendala yang menghambat  terwujutnya system politik ini mengakibatkan pro serta kontra dikalangan masyarakat sendiri dengan kalangan pemerintah. Politik sendiri merupakan hal yang penting yang harus ada dalam sebuah Negara demokrasi. Dimana politik dijadikan sebagai perlemen sebagai wakil dari rakyat-rakyat suatu Negara.
Pembahasan lebih jauh lagi mengenai apa itu system politik, bagaimana konfigurasi politik yang terjadi di Indonesia serta sejarah politik Indonesia pada masa orde baru akan dibahas lebih lanjut pada makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksut dengan system politik?
2.      Bagaimana konfigurasi politik di Indonesia?
3.      Bagaimana sejarah politik Indonesia pada masa Orde Baru?








BAB II
PEMBAHASAN
            A.    Pengertian system politik
1.      Pengertian system  
Menurut Prof. Pamuji, system merupakan: Suatu kebetulan atau keseluruhan yang kompleks atau terorganisasi sehingga menjadi suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebetulan atau keseluruhan yang kompleks atau utuh. Dimana didalamnya terdapat komponen-komponen yang pada gilirannya akan menjadi suatu sistem tersendiri yang mempunyai fungsi masing-masing dan saling berhubungan satu sama lain menurut pola, tata atau norma tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan.
Menurut Prof. Prajudi, system merupakan suatu jaringan dari prosedur-prosedur yang berhubungan satu sama lain menurut skema atau pola yang bulat untuk menggerakkan suatu fungsi yang utama dari suatu usaha atau urusan.
Menurut Prof. Sumantri, yang mendiskripsikan pengertian system dengan sekelompok bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud atau tujuan. Apabila salah satu bagian rusak atau tidak dapat menjalankan tugasnya, maka maksud yang hendak dicapai tidak dapat menjalankan tugasnya, maka maksud yang hendak dicapai tidak akan terpenuhi, atau setidak-tidaknya sistem yang telah terwujud akan mendapat gangguan.
Sedangkan Drs. Musaef memberikan pengertian system dengan suatu sarana yang menguasai keadaan dan pekerjaan agar dalam menjalankan tugasnya dapat teratur atau suatu tatanan dari hal-hal yang paling berkaitan dan berhubungan sehingga membentuk satu kesatuan dan satu keseluruhan.[1]
Jadi sistem adalah kesatuan yang utuh dari suatu rangkaian yang saling berkaitan satu sama lain. Dimana masing-masing organ system memiliki tugas sendiri-sendiri dalam upaya menuju tujuan yang telah ditentukan.
2.      Pengertian politik
Pengertian kata politik dalam bahasa arab disebut “siyasah” yang selanjutnya kata ini kemudian diterjemahkan menjadi siasat, atau dalam bahasa inggrisnya disebut politics. Politik itu sendiri memang berarti cerdik dan bijaksana, yang dalam pembicaraan sehari-hari kita seakan-akan mengartiakn sebagai suatu cara yang di pakai untuk mewujudkan tujuan tertentu.
Pada dasarnya politik mempunyai ruang lingkup dalam negara, karena teori politik menyelidiki bahwa sebagai lembaga politik yang mempengaruhi kehidupan masyarakat sehingga negara dalam keadaan bergerak. Selain dari pada itu politik juga menyelidiki ide-ide, asas-asas, sejarah pembentukan negara, hakikat negara, serta bentuk dan tujuan negara, di samping menyelidiki hal-hal seperti kelompok elit, peranan partai politik, dan keberadaan pemilihan umum.
Asal mula kata politik itu sendiri berasal dari kata polis yang berarti Negara atau kota. dengan demikian berarti ada hubungan khusus antara manusia yang hidup bersama dalam hubungan tertentu kemudian timbullah aturan, kewenangan, perilaku pejabat, legalitas kekuasaan dan akhirnya muncullah kekuasaan. Tetapi politik juga dapat dikatakan sebagai kebijaksanaan, kekuatan, kekuasaan pemerintah, pengaturan konflik yang menjadi konsus nasional, serta kemudian kekuaan massa rakyat.
Pengertian lain mengenai politik yaitu suatu disiplin ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, tetapi sebagaimana telah disampaikan di awal bahwa politik juga dianggap sebagai sebuah seni karena sudah sering kita melihat para politikus yang tanpa memiliki pendidikan mengenai ilmu politik, tapi mereka mampu berkiat dalam hal politik seolah-olah memiliki bakat yang dibawa sejak lahir dan dari naluri sanubarinya tersebut sebagai seniman politik, dengan karismatik yang mereka miliki bisa menjalankan roda politik secara praktis.[2]
3.      Pengertian system politik
Prof. Sumarti  memberikan penafsiran mengenai Sistem politik yaitu  pelembagaan dari hubungan antara manusia yang berupa hubungan antara supra sruktur politik dan infra stuktur politik. Sedangkan dari pandangan David Easton sistem politik merupakan terdiri dari alokasi nilai-nilai, kemudian pengalokasian nilai-nilai tersebut dengan mengangkat masyarakat secara menyeluruh. Sedangkan pandangan lain dari Gabriel Almond bahwa sistem politik merupakan sistem interaksi yang ditemui dalam masyarakat merdeka, yang menjalankan fungsi integrasi dan adaptasi.[3]
Sehingga dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sistem politih adalah suatu rangkaian kegiatan yang terdapat dalam suatu Negara merdeka yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain, dimana rangkaian tersebut merupakan suatu keutuhan yang apabila salah satu terganggu akan berpengaruh pada bagian yang lainnya dalam suatu urusan atau inti dari Negara tersebut.
        B.     Konfigurasi politik di Indonesia
Konfigurasi diartikan sebagai bentuk atau susunan atau pun wujut untuk menggambarkan suatu benda. Sehingga jika dihubungkan dengan kata politik, Konfigurasi politik merupakan susunan atau tata letak atau yang berkaitan dengan kehidupan politik yang terdapat pada suatu masa yang menggambarkan  suatu keadaan politik pada masa tersebut, serta kaitan, relavansi, pengaruh atau arti pentingnya untuk memahami atau menjelaskan penegakan hokum, khususnya dalam menyelesaikan pelanggaran HAM pada masa lalu.[4]
Teori konfigurasi politik pernah digunakan oleh Moh. Mahfud MD untuk menjelaskan pertanyaan tentang pengaruh politik terhadap produk hokum, pertanyaan yang dibangun atas asumsi bahwa hokum merupakan produk politik karena itu pengaruh konfigurasi politik akan menentukan produk hokum yang dibuat. Konfigurasi politik demokratis akan melahirkan produk hokum responsive atau populis, sedangkan konfigurasi politik otoriter melahirkan produk hokum konservatif atau ortodok atau elitis.[5]
Konfigurasi politik demokratis merupakan susunan system politik yang membuka kesempatan bagi partisipasi rakyat secara aktif dalam menentukan kebijaksanaan hokum yang berlaku. Partisipasi ini ditentukan atas dasar mayoritas wakil-wakil rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik, dan di aplikasikan dalam kebebasan politik. Sementara itu, Konfigurasi politik otoriter merupakan susunan system politik yang lebih memungkinkan Negara berperan sangat aktif, serta mengambil hampir seluruh  inisiatif dalam pengambilan kebijaksanaan Negara. Konfigurasi ini ditandai dengan dorongan elite kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan Negara untuk menentukan kebijaksanaan Negara dan dominasi kekuasaan politik oleh elite politik yang kekal, dan dibalik semua itu ada suatu doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan.
Dalam upaya mengualifikasikan apakah konfigurasi politik itu bersifat demokrasi ataukah bersifat otoriter, Moh. Mahfud MD menggunakan indicator berupa bekerjanya tiga pilar demokrasi yaitu dalam hal peranan partai politik dan badan perwakilan, kebebasan pres, dan peranan eksekutif. Pada konfigurasi politik demokratis partai politik dan lembaga perwakilan rakyat berperan aktif dalam menentukan hokum Negara atau politik nasional. Dalam konfigurasi politik ini kehidupan pres relative bebas sedangkan peranan lembaga eksekutif ( pemerintah ) tidak dominan dan tunduk pada kemauan-kemauan rakyat yang digambarkan lewat kehendak lembaga perwakilan rakyat. Sedangkan Konfigurasi politik otoriter yang terjadi Negara yang berperan aktif dalam menentukan hokum. Dimana partai-partai politik tidak berperan dalam kebijakan penganbilan keputusan.
Politik hokum dalam konfigurasi politik yang demokratis ditujukan untuk menciptakan hokum yang mendekatkan tata hokum dengan realitas social dimana karakteristik produk hukumnya bersifat populis, progresif. Sedangakan pada konfigurasi politik otoriter umumnya ditujukan untuk menciptakan hokum dalam mempertahankan kekuasaan dari rezim penguasa sehingga menjauhkan tata hukum dengan realitas social dimana produk hukumnya adalah elitis, konserfatif.[6]
Beberapa konfigurasi politik yang terjadi di Indonesia
1.      Konfigurasi Politik Pasca-Soeharto
Konstelasi politik merupakan warisan politik nondemokrasi, jatuhnya kepemimpinan Soeharto menjadi sebuah symbol dan penyangga utama struktur politik otiritarian  orde baru yang telah membuat kekuasaan politik kehilangan keseimbangan. Desakan rakyat melalui isu reformasi yang memaksa MPR-DPR, Golkar, eksekutif, dan militer mengubah watak kekuasaannya. Dimana penyangga kekuasaan harus mengikuti tuntutan reformasi berupa demokratisasi, keterbukaan, penegakan supremesi hokum, penegakan HAM, pemberantasan KKN, dan perubahan UUD 1945.
Respon serta sikap Soeharto sesungguhnya ingin mempertahankan kekuasaannya, tetapi karena desakan rakyat inilah yang membuat Soeharto harus menerima keinginan rakyat untuk meninggalkan jabatannya. Sebagaimana disampaikan sejumlah tokoh pada tanggal 19 Mei 1998. Pergeseran konfigurasi politik dikalangan pendukung orde baru setidaknya menjadikan komitmen dan karakter politik rezim orde baru berubah dimana mereka mulai mencari posisi aman dengan memberikan pernyataan yang tidak lagi secara tegas membela Soeharto bahkan menjauh Soeharto lalu meninggalkannya. Tumbanganya rezim otoritarian yang iakui oleh proses menuju demokratis mulai lebih nyata di era presiden Bj Habibi. Pidato pertamanya setelah dilantik BJ. Habibi berkomitmen untuk melakukan reformasi secara bertahap konstitusional di segala bidang, meningkatkan kehidupan demokratis, menyusun kabinet sesuai tuntutan zaman, aspirasi dan kehendak rakyat dengan adanya kabinet propesional serta memiliki didikasi dan integritas tinggi.
Kabinet Reformasi Pembangunan pada masa BJ Habibi mengedepankan reformasi politik, ekonomi  dan hukum. Di bidang politik dengan memperbaharui berbagai undang-undang untuk meningkatkan kehidupan berpolitik, kebebasan pers, pebebasn berpendapat, dan menyiapkan pemilu. Sedangkan di bidang ekonomi mempercepat menyelesaikan UUD 1945 yang menghilangkan praktek-praktek monopoli dan persaingan yang tidak sehat. Sedangkan pembangunan di bidang hukum menggagas perubahan UUD 1945 dengan meninjau kembali suversi, retifikasi instrumen internasional dan menyiapkan UU tentang HAM.  Kabinet ini di jadikan sebagai landasan disusunnya konfigurasi politik yang demokratis pada masanya.[7]
2.      Konfigurasi setelah pemilu 1999
Secara teoritis konfigurasi politik di di Indonesia setelah pemilu 1999 adalah konfigurasi politik demokratis. Keberhasilan melakukan perubahan terhadap UUD 1945 adalah sebuah ujian terpenting sekaligus sebagai bukti adanya konfigurasi politik yang baru dan kuat dan demokratis di DPR sekaligus perubahan UUD 1945 yang bersifat elitis dan kecilnya perubahan masyarakat dalam perubahan tersebut. Tahun 1999-2003 DPR dan pemerintah menghasilkan UU baik yang bersifat retifikasi terhadap konfensi HAM internasional, perubahan UU, peraturan pemerintah yang tidak sejalan dengan HAM maupun produk hukum yamg berorientasi pada penguatan penghormatan perlindungan dan penegakan HAM.
Era pemerintahan Gus Dur program revormasi kehidupan politik, hukum, dan HAM sebagai upaya mewujudkan formal dan substansi negara hukum dan demokrasi terus dilakukan. Konfigurasi politik demokrasi di era Gus Dur ini tidak optimal dalam konteks demokratis yang produktif dalam penyelesaian pelanggaran HAM hal ini terjadi karena kerapuhan rezim demokrasi sipil itu sendiri. Gaya dan prilaku politik pada era Gus Dur sering kali mengalami kontrofersi serta dukungan perlemen yang lemah. Hal ini menjadikan konfigurasi politik tersebut tidak stabil. Hal ini tentunya menguntungkan pihak militer, setidaknya membuat agenda pengusutan kejahatan HAM menjadi terabaikan dan memungkinkan militer melakukan langkah rahasia untuk melemahkan agenda pengusutan tersebut.
Kemudian sistem demokrasi yang terjadi menjadikan demokrasi yang layu sebelum berkembang atau demokrasi beku. Sedangkan respon dari pihak militer sendiri terhadap agenda politik telah ditunjukan sejak tahun 1998 dengan merumuskan Paradikma Baru TNI yang mengandung  serangkaian doktrin yang mengubah peranan sosial politik TNI. Dengan ini TNI mengubah arah peranannya dan tidak lagi tampil pada garis paling depan melainkan merubahnya dalam hal tidak lagi “menduduki” melainkan “ mempengaruhi” dengan cara menjadi pengaruh secar tidak langsung.
Keberhasilan militer dalam konsolidaritas juga dipengaruhi oleh Gus Dur, lebih-lebih pada era pemerintahan Megawati yang tidak konsisten dalam mengonsolidarikan sipil. Di era  Megawati militer bahkan memperoleh ruang dan kesempatan melakukan recovery seiring dengan kebijakan pemerintahan Megawati yang kembali menghidupkan pendekatan keamanan dalam pemerintahan.[8]
3.      Konfigurasi politik  setelah pemilu 2004
Dalam rentan waktu 1999 hingga menjelang pemilu 2004 telah terjadi banyak perubahan politik dan hukum yang sangat signifikan antara lain perubahan UUD 1945. Pada masa ini terdapat empat hal perubahan, pertama, perubahan yang terfokus pada kewenangan presiden yaitu mengatur masa jabatan presiden yang hanya boleh menjabat maksimal dua kali masa jabatan. Kedua, Selain mengatur masalah pemerintah pada masa ini juga mengatur tentang pemerintahan daerah, pembagian kewenangan pusat dan daerah, kewenangan DPR dan DPRD, serta HAM. Perubahan Ketiga, mengatur pemilu, kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Dewan Perwalian Daerah. Perubahan keempat mengatur tentang pendidikan, kebudayaan, dan perekonomian. Dari keempat perubahan ini perubahan ke tigalah yang memiliki pengaruh paling besar terhadap pelaksannan pemilu 2004 karena perubahan dalam ketentuan mengenai pemilu dan kekuasaan kehakiman yang merupakan dua elemen yang sangat penting dalam demokrasi. Pemilu 2004 sangat berbeda dengan dengan pemilu sebelumnya, dimana pemilu 2004 memiliki kemajuan yang sangat pesat dalam demokrasi procedural kita.[9]
C.     Sejarah politik Indonesia masa Orde Baru
Orde baru bukan sebuah fenomena politik yang monolitik, yang bisa dijelaskan dengan menggunakan satu atau dua kata kunci saja. Orde baru belakangan ini menampilkan cirinya yang otoritarian. Namun sebenarnya orde baru juga tercatat memiliki komitmen menumbuhkan orde yang dipimpin oleh Jendral H. Muhammad Soeharto.
1.      Periodisasi Politik Orde Baru
Politik orde baru adalah fenomena kompleks sehingga jauh dari monopolik. Dengan demikian ada manfaatnya melihat orde baru dengan melakukan pentahapan seperti yang dilakukan oleh Adreas Vickers. Adreas Vickers membagi sejarah orde baru dalam tiga bagian yang saling berkitan satu sama lain, yaitu fase honeymoon, stalinist dn fase keterbukan, krisis.
a.       Periode honeymoon
Vickers menyebut periode 1967-1974 sebagai fase honeymoon. Pada periode ini sistem politik di negeri ini relatif terbuka. Bangsa Indonesia bisa menikmati kebebasan pers. Militer tidak mendominasi banyak aspek pemerintahan. sebiliknya, militer menjalin aliansi dengan mahasiswa, kelompok Islam dan sejumlah tokoh politik pada masa soekarno. Soeharto menjalin hubungan erat sehingga menjadi jalinan triumvirate yang kuat dengan adam malik yang dikenal sebagai tokoh politik kekirian ( Tan Malakainst ) dan Hamangkubuono IX yang dikenal sebagai Soekarnois liberal.
Periode ini diakhiri dengan peristiwa Malari yang disertai dengan dimulainya tekanan atas kekuatan mahasiswa di satu pihak dan di lain pihak sebuah upaya Soeharto membangun kekuatan dari takanan lawan politik ditubuh militer. Arus politik pada masa ini memunculkan tokoh populer, Ali Moertopo dengan para pengikutnya yang menyebar dihampir semua posisi politik dan birokrasi. Bersamaan dengan itu, arus politik membawa Indonesia untuk melakukan pengintegrasiaan Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia pada tahun 1976.[10]
b.      Periode Stalinist
Fase kedua adalah periode tahun 1974-1988/1989 yang disebut sebagai fase stalinist. Pada fase ini otoritarianisme menjadi ciri yang mengedepankan dalam arena kepolitikan di Indonesia. Tidak ada gerakan mahasiswa pada periode ini, kecuali gerakan-gerakan yang lingkup dan isi perjuangannya bersifat lokal, seperti desakan proses mahasiswa terhadap pembangunan waduk kedungombo, penurunan SPP, protes pemecatan Arief Budiman di Universitas Satyawacana, protes Mahasiswa ujung pandang atas kenaikan tarif angkot. Pada fase ini militer bergandengan erat dengan birokrasi sehingga menjadi instrumental politik penguasa Orde Baru yang sangt tangguh.
c.       Periode Keterbukaan
Periode ini pada akhir 1980-an. Pada masa ini mulai muncul kekuatan yang selama ini bersebrangan dengn kekuasaan. Di parlemen muncul “interupsi” dari salah seorang anggota fraksi ABRI (sekarang TNI dan POLRI). Ada yang bilang periode ini merupakan saat-saat orang mengucapkan “good bye” untuk menjadi manusia “yes men” menunggu petunjuk bapak presiden. Dalam dunia ekonomi pemerintahan mengeluarkan sejumlah deregulasi, yang mempercepat arus masuknya modal asing. Investasi dunia perbankan menjadi dipermudah.
Bank tumbuh bukan hanya di kota tetapi sampai ke kecamatan dengan modal Rp 50 juta bisa membuat bank seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bersamaan dengan itu, perkembangan sejarah politik internasional ditandai dengan munculnya keterbukaan dan reformasi yang di gulirkan oleh presiden Uni Soviet, Michel Gorbachove.
d.      Periode Krisis
Puncak keterbukaan yang berlangsung di Indonesia adalah masa krisis. Dimulai dengan krisis moneter. Kurs rupiah dimata dolar As  merosot tajam. Ibarat kapal, negeri ini yang dihantam ombak besar. Sejumlah petinggi negri ini mengatakan tidak ada masalah, karena fundamental ekonomi kita cukup kuat. Ternyata tidak demikian. Indonesia terus diterpa badai moneter. Kurs rupiah benar-benar tidak terkendali, sampai lebih Rp 10 ribu per dolar AS. Krisis ini diserti dengan krisis sosial politik yang tak terkendali.
Kelompok kritis, dosen-dosen senior perguruan tinggi negeri di Indonesia “turun gunung” dan dewan demontrasi mahasiswa pecah dimana-mana. Rezim Suharto benar-benar sedang diterpa badai, dan akhirnya menyerahkan kekusaan kepada BJ. Habibie pada tahun 1998. Sejak itu berakhirlah rezim Suharto. Dan dimulailah era baru yaitu era reformasi. Indonesia memulai dalam sejarah politik, dengan awal yang tidak mudah. Tertatih-tatih bangsa ini, mengatasi kerusuhan, pembakaran, perusakan, separatisme, hingga penjabretan, penolongan dan berbagai bentuk kriminalitas yang tak terkendali oleh aparat kekuasaan.[11]
2.      Hubungan Negara dengan masyarakat
Pada masa orde baru Negara sangat kuat dan tidak ada perubahan yang tidak dimulai dari Negara itu sendiri. Pada massa ini masyarakat tidak memiliki ruang untuk ikut partisipasi dalam bidang politik. Dimana peraturan-peraturan yang terdapat dalam suatu Negara didominasi oleh Negara itu sendiri.  Pandangan masyarakat terhadap Negara ini sangat kuat karena Negara mengorganisasikan masyarakat yang memiliki berbagai kepentingan secara korporatis. Sehingga masyarakat yang plural dapat menyalurkan kepentingan yang berbeda-beda melalui mekanisme yang tidak menimbulkan konflik antar kelompok maupun individu.
Melalui pengorganisasian yang secara korparatis inilah Negara menaklukan masyarakat sendiri. Dengan pengorganisasian ini memudahkan Negara dalam memenuhi berbagai kepentingan yang otonom, kepentingan ekslusif Negara yang tidak mencerminkan aspirasi dan tuntutan masyarakat. Sebagai implikasinya, masyarakat mengalami depolitisasi. Dimana masyarakat yang tersingkirkan, tereksploitasi, dan tidak kuasa melawan tekanan dari Negara.[12]
3.      Praktek Negara hegemonik dan koersif
Pada masa orde baru Negara menjadi kuat salah satunya karena menerapkan cara-cara hegemoni dikombinasikan dengan cara koersif. Hegemoni sendiri yaitu cara menundukkan orang lain agar tidak menggunakan kekerasan, melainkan menggunakan cara-cara cultural seperti penggunaan ideology, agama, nilai-nilai budaya tertentu sebagai alat kekuasaan.
Dalam kerangka hegemoni, pemerintahan orde baru menggunakan ideology Pancasila sebagai instrument berkuasa. Seperti pada tahun 1978 pemerintah menyusun penafsiran Pancasila menjadi Eka Prastya Pancakarsa. Tahun 1983 pemerintah juga melakukan penanggulangan azas bagi organisasi social kemasyarakatan, keagamaan, maupun politik.[13]
 


BAB III
PENUTUP
     A.    Kesimpulan
System politik yang terjadi di Indonesia masih belum sesuai dengan apa yang di harapkan oleh masyarakat. Dimana sistem tersebut belum bisa berjalan atau belum bisa terlaksana secara efektif dan efisien. Masih banyak yang harus dilakukan atau dibenahi agar bisa tencapai dari tujuan utamanya yaitu menjadikan Negara ini lebih teratur dan terarah dalam segala hal seperti peraturan-peraturan yang mengikat suatu Negara beserta isinya.
Perkembangan system politik di Indonesia mengalami pasang surut. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya desakan-desakan dari masyarakut untuk mengubah system-sisten yang digunakan Negara ini. Selain itu juga ada dukungan dari masyarakat terhadap system politik di Indonesia seperti partisipasinya masyarakat dalam pemilihan pemilu.
    B.     Kritik dan Saran
Demikian uraian singkat dari makah ini. Tak ada kesempurnaan di dunia ini kecuali kekuasaan Allah SWT, oleh karena itu kritik dan saran yang dapat membangun demi kemajuan dan kesempurnaan makalah-makalah selanjutnya sangat dibutuhkan. Semoga apa yang dibahas dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Amin.




DAFTAR PUSTAKA



[1] Inu Kecana Syafiie, Ilmu Politik (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), Hlm.12.
[2] Inu Kecana Syafiie, Ilmu Politik ,…hlm.9-10.
[3] Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik,…hlm.12
[4] Suparman Marzuki, Politik Hokum Hak Asasi Manusia, Jakarta: Erlangga, 2014, Hlm.85.
[5] Suparman Marzuki, Politik Hokum Hak Asasi Manusia, …. Hlm.85.
[6] Suparman Marzuki, Politik Hokum Hak Asasi Manusia,… hlm.86.
[7] Suparman Marzuki, Politik Hokum Hak Asasi Manusia,… hlm.89-91.
[8] Suparman Marzuki, Politik Hokum Hak Asasi Manusia,… hlm.93-96.
[9] Suparman Marzuki, Politik Hokum Hak Asasi Manusia,… hlm.96-97.
[10]  Zainuddin Maliki, Sosiologi Politik Makna Kekuasaan dan Transformasi Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010, Hlm.238-239.
[11] Zainuddin Maliki, Sosiologi Politik Makna Kekuasaan dan Transformasi Politik,…hlm.239-242.
[12] Zainuddin Maliki, Sosiologi Politik Makna Kekuasaan dan Transformasi Politik,…hlm.250-251.
[13] Zainuddin Maliki, Sosiologi Politik Makna Kekuasaan dan Transformasi Politik,…hlm.251.