Selasa, 29 Desember 2015

KESALEHAN RITUAL DAN KESALEHAN SOSIAL DALAM SEJARAH PERADABAN ISLAM

I. PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Solawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Besar Nabi Muhammad SAW,yang kia tunggu shafaatnya di Yaumul Akhir nanti.
            Islam, sebagaimana yang sering diungkapkan, merupakan agama universal dan multi dimensi. Islam berbicara tentang dimensi keTuhanan dan juga dimensi kemanusiaan, tentang akhirat dan juga dunia, tentang ritual keagamaan dan juga sosial (muamalah), tetapi Islam tidak pernah mendikotomisasi dimensi-dimensi tersebut serta ajaran dan bentuk-bentuk peribadatan. Universalitas Islam tersebut justru harus dihadirkan dalma diri setiap muslim secara integral, utuh dan kaffah, tidak setengah-setengahdan parsial (udkhulu fi al-silmi kaffah). Bahwa amaliyah ibadah yang berada pada wilayah ritual / ibadah mahdhah, harus memiliki implikasi sosial, demikian pula aktivitas-aktivitas sosial / muamalah yang dilakukan harus berada dalam kerangka peribadatan kepada Allah SWT. Shalat, misalnya harus berimplikasi pada pencegahan dari prilaku keji dan mungkar (tanha ‘an al-fahsya’ wa al munkar), tidak dilakukan untuk riya dan harus berimplikasi pada upaya  memberi bantuan pada orang yang memerlukan. Demikian pula aktivitas sosial harus dilandasi oleh keimanan dan niat ibadah kepada Allah. Melalui pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama secara utuh diharapkan dapat menumbuhkan kesalehan ritual dan kesalehan sosial dalam diri seorang muslim secara seimbang, sinergis dan korelatif.


II. RUMUSAN MASALAH
1.   Apa pengertian kesalehan ritual dan kesalehan sosial ?
2.   Apa saja contoh-contoh kesalehan ritual yang berdampak kepada kesalehan sosial ?
3.   Bagaimana keseimbangan antara kesalehan ritual dengan kesalehan sosial ?



III. PEMBAHASAN
A.    Pengertian kesalehan ritual dan kesalehan sosial
a. Kesalehan ritual
Kesalehan ritual (kesalehan individual) merupakan jenis kesalehan yang ukurannya ditentukan berdasarkan seberapa taat seseorang menjalankan shalat lima waktu, seberapa panjang zikir-zikir sesudah sholat, dan seberapa sering sholat sunnah ia lakukan. Pada prinsipnya kesalehan dalam jenis ini ditentukan berdasarkan ukuran serba legal formal sebagaimana apa yang dituntun oleh ajaran agama. Dan biasanya, orang yang memiliki prilaku ini akan merasa memiliki otoritas (kewenangan) untuk menilai kredibilitas moral orang lain, ia menjadi semacam tim pemeriksa dan penilai keimanan orang lain.
 Diantara kedua kesalehan yang akan kita bahas, kesalehan dalam bentuk yang pertama sering diapresiasikan oleh sebagian besar umat sebagai sebuah prilaku keagamaan yang egoistic dan individualistic. Orang lebih bersemangat menjalankan sebagian ibadah-ibadah sunnah seperti zikir, shalat, puasa, dan lain-lain, daripada ibadah-ibadah sosial seperti mengurus kepentingan umum, bershilaturrahmi, membantu kesulitan tetangga dan menyelesaikan problem kemiskinan. Seseorang akan lebih merasa beragama dibanding orang lain jika telah memperhatikan aspek-aspek simbul (syiar) keagamaan, kuantitas dan masalah-masalah furu’ seperti memelihara jenggot dan atau membangun mesjid.
  Tetapi mereka nyaris tidak peduli terhadap masalah atau persoalan yang substansial, esensial dan kualitas masyarakat. Kelompok ini lebih memprioritaskan ibadah haji thathawwu’ (haji kedua, dst) daripada membiayai anak tetangga bahkan keponakannya yang hampir putus kuliah/ sekolah karena tidak membayar SPP, atau mereka lebih suka meng-haji-kan orang miskin yang belum mempunyai tempat tinggal ataupun tempat tinggal yang layak daripada membantunya agar mempunyai rumah, dan seterusnya.
b.      Kesalehan sosial
         Kesalehan sosial merupakan bentuk kesalehan yang lebih ditentukan oleh kehidupan praksis seseorang, seberapa banyak kegiatan-kegiatan sosial yang ia lakukan, seberapa jauh rasa toleransinya, tingkat kepeduliaannya terhadap sesamanya, cinta kasih, harga-menghargai, dan prilaku lainnya yang berdimensi sosial. Kesalehan sosial memandang bahwa kesalehan tidak ditentukan oleh banyak dan panjangnya do’a, zikir-zikir, dan ritualitas keagamaan lainnya yang lebih mengesankan sikap hidup egoistis, tetapi kesalehan itu ada pada perwujudan, manifestasi dan apresiasi keimanan dalam praksis sosial. Dalam bentuknya yang lebih ekstrim, kesalehan sosial ini kadang menafikan keimanan dan legal formal agama tetapi mereka aktif dalam kegiatan kemanusiaan dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya, prilaku yang demikian itu diistilahkan oleh Nurcholis Madjid sebagai “kesalehan sosial tanpa iman” atau piety without faith.
          Kesalehan sosial muncul sebagai anti tesis dari kesalehan ritual. Kesalehan sosial dilandasi oleh upaya memberikan solusi atas permasalahan-permasalah sosial yang muncul di masyarakat. Untuk menghadapi problem kemanusiaan itu maka para pemuka agama dan intelektualnya harus mampu menerjemahkan misi suci kebenaran agama sebagai agama kemanusiaan yang menawarkan dirinya sebagai rahmatan li al ‘aalamiin dengan cara-cara yang sesuai dengan perkembangan pemikiran dan dinamika zamannya. Bagi kalangan muslim sebagai pemeluk agama mayoritas di Indonesia, ajaran-ajaran agama hendaknya tidak begitu saja diterima (taqliq) tanpa adanya perubahan, pertumbuhan dan perkembangan. Memahami ajaran agama hanya dengan tekstualnya saja harus diganti dengan memahami secara kontekstual. Dari sinilah akan muncul harapan kita akan dapat menghindari pertikaian yang menyebabkan kita tidak lagi dapat berkembang membangun peradaban yang lebih maju.
B.  Beberapa Contoh Kesalehan ritual yang berdampak pada kesalehan sosial
a.       Shalat
Dalam hal sholat misalnya, Al-Qur’an menyatakan:
....فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي (سورة طه:14)
“…Maka beribadahlah kalian kepada-Ku (sembahlah Aku) (Allah SWT), dan dirikan lah shalat untuk mengingat-Ku”.
  Dengan kata lain shalat adalah sarana untuk menghadirkan Allah SWT. dalam setiap individu. Kesadaran akan kehadiran Allah akan menjadikan manusia selalu menjalani hidupnya dengan kebaikan-kebaikan dan menjauhi keburukan-keburukan. Hal ini ditegaskan dalam ayat Al-Qur’an yang lain sebagai berikut:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ (سورة العنكبوت:45)
Dan dirikanlah shalat! Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar dan ingatlah kepada Allah yang Maha Besar, dan Allah Maha mengetahui apa yang kalian perbuat” (QS. Al-Ankabut: 45)
Dan pernyataan yang paling jelas adalah Firman Allah SWT. dalam Surat Al-Maa’uun:
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3) فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7) (سورة الماعون : 1-7)
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (1) Itulah orang yang menghardik anak yatim, (2) dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (3) Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (4) (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. (5) orang-orang yang berbuat riya. (6) dan enggan (menolong dengan) barang berguna (bagi orang lain). (QS. Al-Maa’uun:1-7)[2]
b.      Puasa
     Puasa yang punya makna al-imsak punya arti "menunda kesenangan". Kemampuan manusia dalam menunda kesenangan sangat tergantung pada kekuatan jiwanya dalam mengendalikan hawa nafsu. Dalam Islam, momen ibadah termasuk Ramadan tidak hanya terbatas pada ibadah ritual, tetapi sebenarnya menyimpan makna moral dan sosial yang cukup kental.
     Dalam Islam, ritual bukanlah hal yang steril dari persoalan sosial. Ritual, dengan demikian, bukan merupakan tindakan untuk menghindar (eskapisme) dari persoalan sosial yang nyata dan mengelilingi kehidupan manusia setiap hari. Ritual puasa misalnya, mendidik seseorang untuk mengendalikan hawa nafsunya serta memupuk rasa solidaritas sosial, khususnya kepada kaum yang miskin, sengsara, dan tertindas.
c.       Zakat fitrah
           Begitu pula zakat fitrah, sebuah kewajiban yang harus ditunaikan setelah puasa Ramadan. Kalau tidak, maka puasanya dibiarkan menggantung tidak diterima Allah, punya implikasi sosial yang nyata, yakni bagai upaya meringankan beban dan membantu orang-orang yang rentan secara ekonomi. Zakat--baik mal maupun fitrah--adalah thariqah untuk menegakkan keadilan sosial yang nyata, bukan sekadar bergenit-genit dengan wacana belaka.
           Bercermin dari sosok Muhammad, kita seharusnya tidak hanya rajin beribadah, tetapi juga mampu “melampaui” nafsu dan kesenangan duniawi yang acapkali menjebak dan menjerumuskan. Selain itu, jauh lebih penting lagi kita sebaiknya punya kepedulian sosial yang tinggi terhadap persoalan kehidupan dan umat manusia di sekitar kita, baik pada level lokal, nasional, dan syukur bisa menyentuh level internasional.
d.      Qurban
         Selama ini, secara konseptual yang beredar, selalu sepakat adanyak praktek berkurban adalah diilhami atas prilaku Nabi Ibrahim as yang dibilang sangar dramatis. Beliau membuktikan rasa cinta dan kesetiaan dengan mengorbankan Islam putranya yang disayangi melebihi segalanya. Pada titik itulah puncak penyerahan jiwa tertinggi yang kadang kala sulit untuk diilustrasikan dengan kalimat sampai kemudian ternyata disembelih Ibrahim as seekor domba.
         Kisah itulah yang sampai sekarang diadopsi masyarakat muslim sebagai akar tumbulnya ritual qurban yang dilakukan rutin setiap tahun, dan tidak ada alasan menolak formulasi yang telah digariskan baik secara daliliyah maupun histories itu, terutama sekali bahwa ada kesesuaian antara waktu qurban Nabi Ibrahim as dengan realisasi qurban saat ini, yakni tanggal 10 Dzul Hijjah terlepas dari tasrik juga termasuk ke dalam waktu berqurban.
e.       Haji
         Haji di samping dimaksudkan sebagai bentuk penyerahan diri secara total kepada Allah dan tanpa reserve, ia juga melambangkan kesatuan, kesetaraan dan persaudaraan umat manusia sedunia. Dimana semua muslim hanya memakai dua helai kain ihram dan tidak diperkenankan memakai wangi-wangian, menutup kepala, memakai sepatu dan apalagi memakai tanda-tanda kepangkatan betapapun kaya dan tinggi pangkat kemanusiaan seorang jemaah haji, pada waktu itu semua sama, dan seraya serempak menegaskan bahwa yang Maha Tinggi dan Maha Kaya adalah Allah SWT semata. memakai sepatu dan apalagi memakai tanda-tanda kepangkatan betapapun kaya dan tinggi pangkat kemanusiaan seorang jemaah haji, pada waktu itu semua sama, dan seraya serempak menegaskan bahwa yang Maha Tinggi dan Maha Kaya adalah Allah SWT semata.

C.    Keseimbangan antara kesalehan ritual dengan kesalehan sosial
Dalam Islam, sebenarnya kedua corak kesalehan itu merupakan suatu kemestian yang tak usah ditawar. Keduanya harus dimiliki seorang Muslim, baik kesalehan individual maupun kesalehan sosial. Agama mengajarkan “Udkhuluu fis silmi kaffah !” bahwa kesalehan dalam Islam mestilah secara total !”. Ya shaleh secara individual/ritual juga saleh secara sosial. Karena ibadah ritual selain bertujuan pengabdian diri pada Allah juga bertujuan membentuk kepribadian yang islami sehingga punya dampak positif terhadap kehidupan sosial, atau hubungan sesama manusia.
Karena itu, kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur dari seperti ibadah ritualnya shalat dan puasanyanya, tetapi juga dilihat dari output sosialnya/ nilai-nilai dan perilaku sosialnya: berupa kasih sayang pada sesama, sikap demokratis, menghargai hak orang lain, cinta kasih, penuh kesantunan, harmonis  dengan orang lain, memberi dan membantu sesama.
Kesalehan tidak hanya dilihat dari ketaatan dan kesungguhan seseorang dalam menjalankan ibadah ritual, karena ini sifatnya hanya individual dan sebatas hubungan dengan Allah (Hablum minallah) tetapi kesalehan juga dilihat dari dampak kongkretnya dalam kehidupan bermasyarakat. Kesalehan sangat tergantung pada  tindakan nyata seseorang, dalam hubungannya dengan sesama manusia (Hablum minan nas); juga sangat tergantung pada sikap serta prilakunya terhadap alam, baik hewan, tumbuh-tumbuhan dsb (hablum minal alam).
Karena itu kesalehan mencakup hubungan baik dengan Allah (hablum minallah), hubungan baik dengan sesama manusia (hablum minan nas), dan hubungan baik dengan alam (hablum minal alam). Dengan demikian, Islam bukan agama individual. Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad adalah agama yang dimaksudkan sebagai rahmat bagi semesta alam (Rahmatan lil alamin). Agama yang tidak hanya untuk kepentingan penyembahan dan pengabdian diri pada Allah semata tetapi juga menjadi rahmat bagi semesta alam. Karena itu, dalam al-Quran kita jumpai fungsi manusia itu bersifat ganda, bukan hanya sebagai abdi Allah tetapi juga sebagai khalifatullah. Khalifatullah berarti memegang amanah untuk memelihara, memanfaatkan, melestarikan dan memakmurkan alam semesta ini, karena itu mengandung makna hablum minan nas wa Hablum minal alam. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa kesalehan individual semestinya melahirkan kesalehan sosial. Namun dalam kenyataannya, selama ini terkesan bahwa banyak orang yang ibadah mahdhahnya (ibadah ritualnya) baik tetapi ternyata tidak memberi bekas dalam perilaku sosialnya. Sholat jalan terus tetapi perilaku buruk lainnya juga jalan terus, sikap iri, dengki, kurang bertanggung jawab pada tugas, kurang amanah, kurang meiliki etos dan semangat kerja, serta sikap yang melukai dan menyakitkan orang lain.
IV. KESIMPULAN
            Kesalehan ritual (kesalehan individual) merupakan jenis kesalehan yang ukurannya ditentukan berdasarkan seberapa taat seseorang menjalankan shalat lima waktu, seberapa panjang zikir-zikir sesudah sholat, dan seberapa sering sholat sunnah ia lakukan. Pada prinsipnya kesalehan dalam jenis ini ditentukan berdasarkan ukuran serba legal formal sebagaimana apa yang dituntun oleh ajaran agama. Kesalehan sosial merupakan bentuk kesalehan yang lebih ditentukan oleh kehidupan praksis seseorang, seberapa banyak kegiatan-kegiatan sosial yang ia lakukan, seberapa jauh rasa toleransinya, tingkat kepeduliaannya terhadap sesamanya, cinta kasih, harga-menghargai, dan prilaku lainnya yang berdimensi sosial.
Contoh Kesalehan ritual yang berdampak pada kesalehan sosial :
a.       Shalat
b.               Puasa
c.       Zakat fitrah
d.   Qurban                       
Kesalehan tidak hanya dilihat dari ketaatan dan kesungguhan seseorang dalam menjalankan ibadah ritual, karena ini sifatnya hanya individual dan sebatas hubungan dengan Allah (Hablum minallah) tetapi kesalehan juga dilihat dari dampak kongkretnya dalam kehidupan bermasyarakat. Kesalehan sangat tergantung pada  tindakan nyata seseorang, dalam hubungannya dengan sesama manusia (Hablum minan nas); juga sangat tergantung pada sikap serta prilakunya terhadap alam, baik hewan, tumbuh-tumbuhan dsb (hablum minal alam).
V.  PENUTUP
Demikian makalah Sejarah Peradaban Islam yang berjudul Kesalehan Ritual dan Kesalehan Sosial dalam Sejarah Peradaban Islam ini kami buat, semoga dapat memberikan manfaat kepada kita semua, dan dapat memberikan suatu pemahaman kepada pemakalah secara khususnya.
Sekian dari kami apabila ada kesalahan atau kekurangan dalam penulisan makalah ini atau dalam pemahamannya, dimohon kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan agar dapat membuat makalah selanjutnya dengan baik.
Dari kami mohon maaf yang sebesar-besarnya dan atas perhatian pembaca kami mengucapkan terima kasih


    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar