Selasa, 29 Desember 2015

Al - ‘Urf (Ushul Fiqh)

I.      PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Solawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Besar Nabi Muhammad SAW,yang kia tunggu shafaatnya di Yaumul Akhir nanti.
Kebiasaan masyarakat sehari-hari, jika dibenturkan dengan hukum Islam memerlukan penyelarasan sedemikian rupa. Hal tersebut dikarenakan pedoman hidup Umat Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah SAW. Memerlukan penafsiran yang mendalam. Kadang suatu ayat atau hadits diperutukan bagi kondisi khusus pada waktu tertentu pada saat ayat tersebut diturunkan. Kemudian persoalan yang di hadapi umat masa kini sulit menemukan solusi dalam penetapan hukumnya. Untuk menjawab persoalan masyarakat, ushul fiqh datang sebagai ilmu yang menyatu dengan masyarakat, berbaur dengan segala problematikanya, bahkan menawarkan ribuan, atau mungkin jutaan solusi yang sangat strategis dan relevan. Salah satu pembahasan tentang ushul fiqh adalah urf. Urf membahas tentang kebiasaan masyarakat yang memiliki nilai yang relevan dengan syari’at Islam.




II.     Rumusan Masalah
  1. Apa Pengertian Al-‘Urf  ?
  2. Apa saja pembagian Al-‘Urf ?
  3. Bagaimana Kedudukan Al-‘Urf ?
  4. Apa syarat-syarat Al-‘Urf ?
  5. Bagaimana pandangan ulama tentang Al-‘Urf ?




III. PEMBAHASAN
A.       Pengertian ‘Urf
Dari segi kebahasaan (etimologi) al-‘urf berasal dari kata yang terdiri dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain, ra’,dan fa’ yang berarti kenal. Dari kata ini muncul kata ma’rifah (yang dikenal), ta’rif (definisi), kata ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata ‘urf (kebiasaan yang baik).[1] Kata Pengertian Al-‘Urf adalah sikap, perbuatan, dan perkataan yang “biasa” dilakulkan oleh kebanyakan manusia atau oleh manusia seluruhnya.
Dari takrif tersebut maka jelas ada perbedaan antara ‘urf dan Ijma’ yaitu:
1.      ‘Urf terjadi kerena ada persesuaian dalam perbuatan ataupun perkataan di antara umumnya manusia baik pada orang biasa, orang cerdik cendikiawan atau para mujtahid. Sedangkan di dalam Ijma’ kesepakatan hanya terjadi dikalangan para mujtahid saja.
2.      Apabila ‘urf ditentang oleh sebagian kecil manusia tidaklah membatalkan kedudukannya sebagai ‘urf. Adapun dalam ijma, apabila tidak disetujui oleh seorang mujtahid saja, sudah tidak bisa dianggap sebai ijma’ lagi.
3.      Hukum yang dihasilkan berdasarkan Ijma’ menjadi hukum yang pasti dalam arti tidak bisa dijadikan objek Ijtihad. Adapun hukum yang dihasilkan berdasarkan ‘urf bisa berubah dengan perubahan ‘urf itu sendiri.[2]

B.        Pembagian ‘Urf
‘Urf ditinjau dari segi jangkaunya, ‘urf dapat dibagi menjadi dua, yaitu: al-‘urf al-amm dan al-khashsh.


a.       Al-‘Urf al-Amm
Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi sebaian besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya, membayar ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu, tanpa perincian jauh atau dekatnya jarak yang ditempuh, dan hanya dibatasi oleh jarak tempuh  maksimum. Demikian juga, membayar sewa penggunaan tempat pemandian umum dengan harga tiket masuk tertentu, tanpa membatasi fasilitas dan jumlah air yang digunakan, kecuali hanya membatasi pemakaian dari segi waktunya saja.
b.      Al-‘Urf al-Khashsh
Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja. Misalnya, kebiasaan masyarakat jambi menyebut kalimat ”satu tumbuk tanah” untuk menunjuk pengertian luas tanah 10x10 meter. Demikian juga kebiasaan masyarakat tertentu yang menjadikan kwitansi sebagai alat bukti pembayaran yang sah, meskipun tanpa disertai dengan dua orang saksi.
Selanjutnya ditinjau dari segi keabsahannya, al-‘urf dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu sbagai berikut:
a.       Al-urf ash-shahihah (Urf yang Absah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang sesuai dan tidak bertentangan dengan aturan hukum islam. Dengan kata lain, ‘urf yang tidak mengubah ketentuan yang haram menjadi halal, atau sebaliknya. Misalnya, kebiasaan yang terdapat dalam suatu masyarakat, hadiah (hantaran) yang diberikan pada pihak wanita ketika peminangan, tidak dikembalikan kepada pihak laki-laki, jika peminangan dibatalkan oleh pihak laki-laki. Sebaliknya, jika yang memabatalkan peminangan adalah pihak wanita, maka hantaran yang diberikan pada wanita yang dipinang dikembalikan dua kali lipat jumlahnya kepad pihak laiki-laki yang meminang.
b.      Al-‘Urf al-Fasidah (‘urf  yang rusak/salah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan ketentuan dan dalil-dalil syara’. Sebalik dari al-‘urf  al-shahihah, maka adat kebiasaan yang salah adalah yang menghalalkan hal-hal yang haram, atau mengharamkan yang halal. Misalnya kebiasaan berciuman antara laki-laki dan wanita yang bukan makhrom dalam acara pertemuan pesta. Demikian juga, adat masyarakat yang mengharamkan perkawinan antara laki-laki dan wanita yang bukan makhrom, hanya karena keduanya berasal dari satu komunitas adat yang sama (pada masyarakat adat Riau), atau hanya karena keduanya semarga (pada masyarakat Tapanuli, Sumatra Utara)
C.    Kedudukan Al-‘urf sebagai Dalil Syara’
Pada dasarnya , semua menyepakati kedudukan al-‘urf as-Shahihah sebaigi salah stu dalil syara’. Akan tetapi, diantara mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaaanya sebagai dalil. Ulama hanafiah dan malikiyah adalah yang paling banyak mengunakan al-‘urf sebagai dalil, dibandikan dengan ulama syafiiyah.    
Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’, didasarkan atas argument-argumen berikut ini:
a.       Firman Allah SWT pada surat Al- a’raf (7):199
Jadilah Engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.

Melalui ayat di atas Allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang makruf. Sedangkan yang disebut sebagai makruf ialah yang di nilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan dan tidak bertentangan dengan watak manusia yang benar.
b.      Ucapan sahabat Rasulullah SAW, Abdullah bin Mas’ud
Maksud ucapan Abdullah bin Mas’ud adalah dilihat dari segi redaksi maupun maksudnya, menunjukan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku didalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syariat islam merupakan sesuatu yang baik disisi Allah SWT. Sebaliknya, hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan yang dinilai baik oleh masyarakat, akan melahirkan kesulitan dalam kehidupan sehari-hari.[3]

Dari segi objeknya, ‘urf dibagi dalam:
a. Al-‟urf al-lafzhiAdalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu untukmegungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintasdalam pikiran masyarakat. 
b. Al-‘urf al-amaliAdalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalahkeperdataan. Yang dimaksud perbuatan biasa adalah perbuatan masyarakat dalamdalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain.Adapun yang berkaitan dengan muamalah perdata adalah kebiasaan masyarakat dalammelakukan akad/transakai dengan cara tertentu.


D. Syarat-Syarat Urf
Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa suatu „urf, baru dapat di jadikan sebagai salah satudalil dalam menetapkan hukum syara‟ apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
  1. urf itu baik yang bersifat khusus dan umum maupun yang bersifat perbuatan dan ucapan , berlaku secara umum. Artinya, ’urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut.
  2. urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itumuncul. Artinya, „urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
  3. urf itu tidak bertentangan dengan yang di ungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. Artinya, dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak telah menentukan secara jelashal-hal yang harus dilakukan, seperti dalam membeli es, di sepakati oleh pembeli dan penjual, secara jelas, bahwa lemari es itu dibawa sendiri oleh pembeli kerumahnya. Sekalipun ’urf menentukan bahwa lemari es yang dibeli akan diantarkan pedagang kerumah pembeli, tetapi karena dalam akad secara jelas mereka telah sepakat bahwa pembeli akan membawa barang tersebut sendiri kerumah nyamaka  urf itu tidak berlaku lagi.
  4. urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandungnash itu tidak bisa diterapkan. „urf seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara‟, karenakehujjahan „urf bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi.

E.     Pandangan Ulama Dalam al-Urf
Berikut adalah praktek-praktek ’Urf dalam masing-masing mahzab:
1.Fiqh Hanafy
a.     Dalam akad jual beli. Seperti standar harga, jual beli rumah yang meliputi bangunanya meskipun tidak disebutkan.
b.      Bolehnya jual beli buah yang masih dipohon karena ’urf.
c.     Bolehnya mengolah lahan pertanian orang lain tanpa izin jika di daerah tersebut ada kebiasaan bahwa lehan pertanian digarap oleh orang lain, maka pemiliknya bisa meminta bagian.
d.    Bolehnya mudharib mengelola harta shahibul maal dalam segala hal menjadi kebiasaan para pedagang.
e.       Menyewa rumah meskipun tidak dijelaskan tujuan penggunaaannya

2.Fiqh Maliki
a.       Bolehnya jual beli barang dengan menunjukkan sample
b.      Pembagian nisbah antara mudharib dan sahibul maal berdasarkan ’urf jika terjadi perselisihan

3.Fiqh Syafi’i
a.       Batasan penyimpanan barang yang dianggap pencurian yang wajib potong tangan
b.      Akad sewa atas alat transportasi
c.       Akad sewa atas ternak
d.      Akad istishna

4. Fiqh Hanbali
a.  Jual beli mu’thah
Para ulama sepakat bahwa ‘urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Para ulama telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan seorang hakim harus memelihara ’urf shahih yang ada di masyarakat dan menetapkannya sebagai hukum. Para ulama juga menyepakati bahwa ’urf fasid harus dijauhkan dari kaidah-kaidah pengambilan dan penetapan hukum. ’Urf fasid dalam keadaan darurat pada lapangan muamalah tidaklah otomatis membolehkannya. Keadaan darurat tersebut dapat ditoleransi hanya apabila benar-benar darurat dan dalam keadaan sangat dibutuhkan.
Imam Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah. Abdul Wahab Khalaf berpandangan bahwa suatu hukum yang bersandar pada ’Urf akan fleksibel terhadap waktu dan tempat, karena Islam memberikan prinsip sebagai berikut:
“Suatu ketetapan hukum (fatwa) dapat berubah disebabkan berubahnya waktu, tempat, dan siatuasi (kondisi)”. Dengan demikian, memperhatikan waktu dan tempat masyarakat yang akan diberi beban hukum sangat penting. Prinsip yang sama dikemukakan dalam kaidah sebagai berikut:
“Tidak dapat diingkari adanya perubahan karena berubahnya waktu (zaman)”.
Dari prinsip ini, seseorang dapat menetapkan hukum atau melakukan perubahan sesuai dengan perubahan waktu (zaman). Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa suatu ketentuan hukum yang ditetapkan oleh seorang mujtahid mungkin saja mengalami perubahan karena perubahan waktu, tempat keadaan, dan adat.
Jumhur ulama tidak membolehkan ’Urf Khosh. Sedangkan sebagian ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah membolehkannya, dan inilah pendapat yang shohih karena kalau dalam sebuah negeri terdapat ‘urf tertentu maka akad dan mu’amalah yang terjadi padanya akan mengikuti ‘urf tersebut.















IV. KESIMPULAN
Pengertian Al-‘urf Dari segi kebahasaan (etimologi) al-‘urf berasal dari kata yang terdiri dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain, ra’,dan fa’ yang berarti kenal. Dari kata ini muncul kata ma’rifah (yang dikenal), ta’rif (definisi), kata ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata ‘urf (kebiasaan yang baik). Kata Pengertian Al-‘Urf adalah sikap, perbuatan, dan perkataan yang “biasa” dilakulkan oleh kebanyakan manusia atau oleh manusia seluruhnya.
Pembagian Al-urf, ‘Urf ditinjau dari segi jangkaunya, ‘urf dapat dibagi menjadi dua: al-‘urf al-amm dan al-khashsh.
a.       Al-‘Urf al-Amm Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi sebaian besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya, membayar ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu, tanpa perincian jauh atau dekatnya jarak yang ditempuh, dan hanya dibatasi oleh jarak tempuh  maksimum.
b.      Al-‘Urf al-Khashsh Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja.
Kedudukan Al-‘urf sebagai Dalil Syara’ Pada dasarnya , semua menyepakati kedudukan al-‘urf as-Shahihah sebaigi salah stu dalil syara’. Akan tetapi, diantara mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaaanya sebagai dalil. Ulama hanafiah dan malikiyah adalah yang paling banyak mengunakan al-‘urf sebagai dalil, dibandikan dengan ulama syafiiyah. 


V. PENUTUP
Demikian makalah Ushul Fiqh yang berjudul Al-‘Urf ini kami buat, buat semoga dapat memberikan manfaat kepada kita semua, dan dapat memberikan suatu pemahaman kepadapemakalah secara khususnya.
Sekian dari kami apabila ada kesalahan atau kekurangan dalam penulisan makalah ini atau dalam pemahamannya, dimohon kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan agar dapat membuat makalah selanjutnya dengan baik.
Dari kami mohon maaf yang sebesar-besarnya dan atas perhatian pembaca kami mengucapkan terima kasih




[1] Dr. H. Abd. Rahman dahlan,M.A. Ushul Fiqh,
[2] Prof. H. A. Djazuli, Kencana Prenada media, Jakarta 2010, hal 88-89
[3] Dr. H. Abd. Rahman dahlan,M.A. Ushul Fiqh,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar